Jumat, 18 April 2014

KETIKA PILIHAN TERHAPUS DARI DUNIA


Aku tak paham akan hakikat tangga kehidupan ini. tidak! bukan itu! hanya saja orang-orang lebih beruntung dari pada aku. Kerjaan yang bagus, serta pernikahan yang megah mereka dapatkan. Sedangkan lilin kecil ini hanya terbakar oleh panasnya api yang meneranginya. Keputusan iya keputusan akan mengubah apa pun. Bukankah Allah memberikan kita pilihan untuk berusaha atau menyerah? Tapi entahlah pikiran serta hatiku gamang oleh keadaaan. Tak dapat kuelak aku hampir menyerah.


Jalan?
Ada, hanya saja aku tak tahu memang tepatkah jalan ini atau hanya gurauan sesaat. Sungguh membutuhkan uluran tangan.

Langit berhias kelap-kelip bintang dari selatan ke utara. Udara bertemperatur nyaman tak panas maupun dingin menggigit. Hamparan sawah kala selimut malam menyelubungi langit makin keluar pesonanya ketika hewan malam yang berkedap-kedip mengeluarkan sinarnya melayang-layang. Wajah gadis itu gamang, cemas,dan mungkin dipenuhi impian-impiannya yang terbang di langit-langit pikiran. Hembusan angin barusan menerpa ujung-ujung rambut hitam yang terurai. Masih di balik jendela lantai dua kamarnya. Pena serta beberapa lembar koran tergeletak berserakan di meja. Pemandangan seorang jobseeker berjuang yaitu men-stabilo kolom-kolom info kerja di koran . Iring-iringan serangga malam bersenandung dan membelai hatinya yang mulai rapuh.

“Apa aku harus melakukan ini?iyakah?tidak!tapi..ah biar. Namun ..uhh ..” berperang dengan pikirannya sendiri. Helaan nafas panjangnya terdengar keras bersamaan dengan ketukan pintu.

“Nan, sudah tidur?”
Suara ibu membuyarkan lamunan gadis itu. Mungkin ibu berubah pikiran. Benar sebaiknya aku berbicara,batinnya.
“Belum Bu.”
Bergegas aktivitas melamunnya ia hentikan dan segera mengambil beberapa lembar koran, kemudian ibunya masuk. Manakala ibunya masuk Nanda menatap lekat-lekat ibunya. Wanita paruh baya itu kemudian duduk di sampingnya.

“Ibu tadi sudah berbincang dengan Bapak, jika ..rencana awal tidak bisa dirubah.”
Hati terasa panas, lidah tak bisa berucap. Bapak tega rutuknya kepada angin. Tubuh serasa tak bertulang. Lemas.

“Ibu harap kamu bisa berfikir lebih jernih. Ini untuk masa depan kamu Nak untuk kebahagiaan kamu sendiri. Rico itu sudah mapan. Orangnya baik. Keluarganya bermartabat. Dan mereka mau menerima kamu. Itukan sudah sempurna. Tinggal kamunya Nak. Hmmm ibu dan bapak tidak bermaksud jahat,”seraya menggenggam tangan anak semata wayangnya. “ Ingat Nak, sudah setahun kerja kamu juga tak dapat dan umurmu sudah berapa sekarang, sudah matang untuk berumah tangga. Mungkin kamu disuruh oleh Allah bersuami dulu baru bisa kerja.”

Kabar pahit yang juga menyiksa di dada ini hanya terkulum bersamaan air ludah. Pedih mendengarkan penjelasan ibunya. Mata tua itu menatap penuh harap atas pengertian semua yang mereka usahakan terhadap buah hatinya. Dengan berat Nanda mengangguk pelan. Jika ucapan-ucapan ala demonstran ia keluarkan akan bertambah runyam. Ayah yang mengidap penyakit jantung bisa-bisa kambuh. Semoga memang benar Allah jika ini kehendak Mu aku ridho,dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar