Pipi tak berisi, wajah
kian terkikis. Mata sang cahaya mulai meredup namun tak surut semangat hidup.
Dialah sang pewaris tahta hati nan gembira.
Di tengah-tengah rutinitas yang terbilang padat, kewajiban sebagai bunda tak dilupakannya. Wanita yang kuat lahir dan batin, menanggapai terpaan badai kehidupan dengan sabar dan ikhlas.Sebagai wanita berdaya ia menjalani hari-harinya penuh semangat. Sebagai pewaris semangat nan menggebu, aku bangga. Bukan wanita yang punya tahta jabatan setinggi bukit. Tidak! Sekali lagi bukan! Namun kepiawaiannya membagi waktu 24 jam sehari dengan cerdik sungguh tak terbayangkan bisa tergapai semua anggan. Anak sehat. Anak cerdas. Semua terurus. Pendidikan yang ia berikan tak luput dari peraturan. Aku tahu agak ketat. Namun sekali lagi dengan kepiawaiannya membawa buah hatinya meniti impian, ia malah menjadi figur yang kubanggakan. Bundaku sayang.
Di tengah-tengah rutinitas yang terbilang padat, kewajiban sebagai bunda tak dilupakannya. Wanita yang kuat lahir dan batin, menanggapai terpaan badai kehidupan dengan sabar dan ikhlas.Sebagai wanita berdaya ia menjalani hari-harinya penuh semangat. Sebagai pewaris semangat nan menggebu, aku bangga. Bukan wanita yang punya tahta jabatan setinggi bukit. Tidak! Sekali lagi bukan! Namun kepiawaiannya membagi waktu 24 jam sehari dengan cerdik sungguh tak terbayangkan bisa tergapai semua anggan. Anak sehat. Anak cerdas. Semua terurus. Pendidikan yang ia berikan tak luput dari peraturan. Aku tahu agak ketat. Namun sekali lagi dengan kepiawaiannya membawa buah hatinya meniti impian, ia malah menjadi figur yang kubanggakan. Bundaku sayang.
Menjejak bumi Illahi
sepanjang ratusan kilometer pernah ia tempuh. Mendapat amanah dari pihak
redaksi ia jalani. Aku memang sedih ketika bunda yang kusayang meninggalkanku
sendiri bersama ayah di rumah. Namun lagi-lagi ia menjaga amanah, selalu
memberikan kabar apapun itu. Ayah pun bangga mempunyai belahan jiwa yang
bercita-cita sedangkan keluarga juga teraihnya. Kerjasama yang baik antara
semua anggota memang berpengaruh. Alhamdulillah semua lancar.
Bunda seorang penulis
best seller. Ayah seorang guru. Tentunya setiap sebelum bunda menelurkan karya ,dibalik
itu semua ada seorang kritikus handal. Siapa lagi bukan dan tidak, ia adalah
ayah.
“Nay, Bunda ada
workshop nanti, ikut yuk sama Bunda,”ajak Bunda dengan mata berbinar dan bibir
terpoles senyuman.
“Umm.. Bund Nay malu
berada di depan ribuan audiens,”jawabku ragu.
“Eh kenapa malu?justru
dengan Nay ikut Bunda, rasa malu Nay nanti perlahan hilang. Percaya
dech,”sembari mengerlingkan mata kearah puteri kecilnya.
Aku tersenyum. Kami saling
tersenyum serta bersitatap. Langkah kumantapkan untuk ikut. Apa yang dikata
bunda beberapa bulan lalu memang ajaib. Benar! Iya, aku menjadi anak yang lebih
percaya diri. Terutama berbicara di depan umum ketika lomba-lomba pidato atau
ketika presentasi di kelas.
“Ibu Budi sedang ke
pasar,”seraya memangkuku di peluknya dengan menghadap ke leptop dan membantu
tanganku untuk mengetik. Tangan kecilku yang masih berumur 5 tahun memencet ke
sana- ke mari. Baru satu kalimat, anak yang berada di pangkuan merosot dan
berlari. Kejadian itu terulang terus. Jka diingat bunda pasti sangat kelelahan
kala itu. Malu.
“Bund, jika Nay
menggarap romance sejarah Nay harus gimana Bund,”menyodorkan buku tebal sejarah
seraya bermimik kebingungan. Bunda yang tengah menggarap novelnya terhenti
sesaat, menanggapai pertanyaanku yang juga merampungkan garapan novel pertama
tentang romance sejarah. Wajah bunda terlihat letih namun tetap ia melayani.
Tak enak diri. Tiba-tiba kuberikan kado dadakan berupa kecupan di pipinya.
Terkaget, bunda menatap lekat-lekat kemudian memeluk dan mencium pipiku.
Kemudian kami tersenyum bersama.
“Hoam,”sembari
menggeliat menuju tempat wudu. Pukul tiga pagi kalau tidak salah. Di lorong
yang remang kudapati ruang kerja bunda yang masih menyala. Ada desiran di dada
entah. Bangga sekaligus kasihan sama bunda. Pukul lima bunda telah menyiapkan
segala keperluan. Dari memasak, minum teh hangat, baju ayah, dan diam-diam aku
berusaha belajar mandiri untuk mengurangi beban bunda.
“Bunda gak tidur lagi?”tanyaku selidik.
Hanya senyuman yang
tersembul dalam bibirnya. Mata yang menghitam terlihat jelas. Ayah pun tak
mewajibkan ini itu sama bunda. Malah ayah juga membantu bunda. Karena tahu
belahan jiwanya bekerja keras. Pengertian keduanya membuatku bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar