Jumat, 02 Mei 2014

BUNDA, KAULAH CAHAYA




Pipi tak berisi, wajah kian terkikis. Mata sang cahaya mulai meredup namun tak surut semangat hidup. Dialah sang pewaris tahta hati nan gembira.
Di tengah-tengah rutinitas yang terbilang padat, kewajiban sebagai bunda tak dilupakannya. Wanita yang kuat lahir dan batin, menanggapai terpaan badai kehidupan dengan sabar dan ikhlas.Sebagai wanita berdaya ia menjalani hari-harinya penuh semangat. Sebagai pewaris semangat nan menggebu, aku bangga. Bukan wanita yang punya tahta jabatan setinggi bukit. Tidak! Sekali lagi bukan! Namun kepiawaiannya membagi waktu 24 jam sehari dengan cerdik sungguh tak terbayangkan bisa tergapai semua anggan. Anak sehat. Anak cerdas. Semua terurus. Pendidikan yang ia berikan tak luput dari peraturan. Aku tahu agak ketat. Namun sekali lagi dengan kepiawaiannya membawa buah hatinya meniti impian, ia malah menjadi figur yang kubanggakan. Bundaku sayang.
Menjejak bumi Illahi sepanjang ratusan kilometer pernah ia tempuh. Mendapat amanah dari pihak redaksi ia jalani. Aku memang sedih ketika bunda yang kusayang meninggalkanku sendiri bersama ayah di rumah. Namun lagi-lagi ia menjaga amanah, selalu memberikan kabar apapun itu. Ayah pun bangga mempunyai belahan jiwa yang bercita-cita sedangkan keluarga juga teraihnya. Kerjasama yang baik antara semua anggota memang berpengaruh. Alhamdulillah semua lancar.
Bunda seorang penulis best seller. Ayah seorang guru. Tentunya setiap sebelum bunda menelurkan karya ,dibalik itu semua ada seorang kritikus handal. Siapa lagi bukan dan tidak, ia adalah ayah.
“Nay, Bunda ada workshop nanti, ikut yuk sama Bunda,”ajak Bunda dengan mata berbinar dan bibir terpoles senyuman.
“Umm.. Bund Nay malu berada di depan ribuan audiens,”jawabku ragu.
“Eh kenapa malu?justru dengan Nay ikut Bunda, rasa malu Nay nanti perlahan hilang. Percaya dech,”sembari mengerlingkan mata kearah puteri kecilnya.
Aku tersenyum. Kami saling tersenyum serta bersitatap. Langkah kumantapkan untuk ikut. Apa yang dikata bunda beberapa bulan lalu memang ajaib. Benar! Iya, aku menjadi anak yang lebih percaya diri. Terutama berbicara di depan umum ketika lomba-lomba pidato atau ketika presentasi di kelas.
“Ibu Budi sedang ke pasar,”seraya memangkuku di peluknya dengan menghadap ke leptop dan membantu tanganku untuk mengetik. Tangan kecilku yang masih berumur 5 tahun memencet ke sana- ke mari. Baru satu kalimat, anak yang berada di pangkuan merosot dan berlari. Kejadian itu terulang terus. Jka diingat bunda pasti sangat kelelahan kala itu. Malu.
“Bund, jika Nay menggarap romance sejarah Nay harus gimana Bund,”menyodorkan buku tebal sejarah seraya bermimik kebingungan. Bunda yang tengah menggarap novelnya terhenti sesaat, menanggapai pertanyaanku yang juga merampungkan garapan novel pertama tentang romance sejarah. Wajah bunda terlihat letih namun tetap ia melayani. Tak enak diri. Tiba-tiba kuberikan kado dadakan berupa kecupan di pipinya. Terkaget, bunda menatap lekat-lekat kemudian memeluk dan mencium pipiku. Kemudian kami tersenyum bersama.
“Hoam,”sembari menggeliat menuju tempat wudu. Pukul tiga pagi kalau tidak salah. Di lorong yang remang kudapati ruang kerja bunda yang masih menyala. Ada desiran di dada entah. Bangga sekaligus kasihan sama bunda. Pukul lima bunda telah menyiapkan segala keperluan. Dari memasak, minum teh hangat, baju ayah, dan diam-diam aku berusaha belajar mandiri untuk mengurangi beban bunda.
“Bunda  gak tidur lagi?”tanyaku selidik.
Hanya senyuman yang tersembul dalam bibirnya. Mata yang menghitam terlihat jelas. Ayah pun tak mewajibkan ini itu sama bunda. Malah ayah juga membantu bunda. Karena tahu belahan jiwanya bekerja keras. Pengertian keduanya membuatku bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar