Jumat, 02 Mei 2014

KISAH DI PONDOK MERTUA INDAH




Kebanyakan orang berpendapat jika tinggal di Pondok Mertua Indah tak seindah akan bayangan yang menari-nari diangan. Dulu sebelum menikah tak terlalu memedulikan apa kata orang, “Toh tergantung orangnya”.
Sempat kata itu terlontar seakan penuh kesombongan. Dan sekarang kata yang dulu sempat terlahir dari bibir, hanya bisa ditelan mentah-mentah. Wajah pasi, bibir tergetar, hati menciut ketika gelegar pita suara merongrong menembus dalamnya hati. Sakit. Cacian demi cacian menguapkan api cinta dalam dada. Sempat saking terlalunya ibu mertua berucap. Kaki akan melangkah keluar ketika diperjalanan pulang menuju Yogyakarta mengendarai kereta api. 
Keajaiban itu ada!
 Mungkin Allah masih memberikan kesempatan diri saat itu tengah mengandung tiga bulan. Ada ibu-ibu yang menarik ke dalam. Saat itu beliau pergi ke kamar mandi dan melihatku membuka pintu keluar kereta api. Melihat gelagat yang tak biasa, ia bertindak. Ampuni hamba Allah. Maafkan ibu sayang. Sungguh hal yang paling bodoh dilakukan, bunuh diri. Suami yang hanya berdiam diri mana kala ibundanya melontarkan kalimat yang tak seharusnya. Perut yang semakin membukit hanya bisa kuelus-elus ketika menerima peluru kata mertua menghujam raga. Allah ampuni mertua hamba dan suami hamba.
Awal menikah memang mertua tak terlalu apa. Baik sekali malah. Apa-apa mertua. Dari masak sampai cuci piring. Aku yang kerap kali mengulurkan tangan untuk membantu ditampik. “Kamu bisa melakukan ini?”, kata Ibu dengan sorot mata yang meragukan. 
Aku yang jadi anak kost sewaktu menuntut ilmu yang notabene jika lapar beli lauk jadi membuat ibu mertua meragu. “Aku bisa kok Bu”,lagi-lagi hanya bisa membatin. Jika di rumah tak ada kegiatan aku keluar, ke sawah. Di gubuk yang berada di tengah sawah merupakan labuhan terakhir jika rasa tak nyaman merenggut cahaya kehangatan. 
Kebaikan ibu mertua yang tak mengizinkanku bekerja di rumah sampai celetak-celetuk tak sedapnya aku dengar dari tetangga. Nah ini yang aku takutkan, jadi kenyataan. Di depan manis di belakang pahit. Peristiwa yang mengawali titik hitam ketika selama dua tahun pernikahan belum ada tanda kehamilan. Entah apakah hanya untuk alasan mencaci atau bagaimana. Karena sempat terdengar percakapan antara suami dengan ibundanya,”Kamu kok pilih dia Im? Cantik sih cantik tapi gak bisa apa-apa. Ibu capek kerja terus. Andaikan Siti anaknya pak Lurah yang jadi mantu ibu , ibu pasti senang,” tersentak beristighfar bila ibu bisa bertutur demikian. Siapa yang menolak bantuan? Aku saja mau menyapu tak diperbolehkan. Sakit. Bisikan setan menggigit cuping telinga. Hati mendidih.
“Dah di cek? Gimana hamil tidak?” tanya Ibu yang memojokkanku beberapa bulan lalu. Teringat betul ia menanyakannya. Tusukan demi tusukan di sudut mata tak bisa ku tahan lagi. Bergegas izin ke kamar mandi, berkucuran air mata. Allah cobaan kah ini?
Titik terendah setelah peristiwa puncak bunuh diri, menuntunku tuk lebih pasrah kepada Sang Pencipta. Kuserahkan jiwa, segala urusan dunia, hati yang tercabik-cabik mertua, hanya kepada Allah semata. Kemana lagi aku berlari jika tak ke peluk-Nya? Suami yang tak bisa diandalkan selalu membuat kecewa. Sungguh tak ada mahluk yang pantas menjadi sandaran tak terkecuali Mas Imron, suamiku. Hanya Allah hanya Allah yang pantas sebagai sandaran.
Derai air mata kerap membasahi pipi di sepertiga malam. Allah Allah Allah. Hanya kata itu yang terlontar dari bibir. Tergugu dan terisak di kesunyian memberikan kelegaan, rasa lapang. Alhamdulillah setelah kelahiran anak pertama kami sikap ibu mulai melunak. Tak lagi ada caci, celetukan menyakitkan atau yang lainnya. Meski tak sekonyong-konyong hilang namun berangsur keadaan membaik. Deni yang sekarang telah berusia 2 tahun makin menambah kekompakan. Tak lagi melulu semua ibu, soal memasak pun sekarang diserahkan kepadaku. Ibu juga yang ngemong malaikat kecil ketika kesibukan menderaku. Alhamdulillah trimakasih Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar