SOSOK INSPIRASI:
Nama : Mukmin Suryadi, S.Pd
Pekerjaan : Guru SD
Alamat : Salaman RT 01,
Karangtalun,Imogiri,Bantul,Yogyakarta
Semilir angin di hari
Ahad kali ini berbeda dari biasanya. Entah apakah memang cuaca baru tak tentu
atau karena aku akan bertemu dengan sosok yang luar biasa. Pagi ini aku tengah
duduk di beranda sebuah rumah yang terletak di dusun Salaman RT 01 Desa
Karangtalun Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul Propinsi Yogyakarta.
Suasana beranda yang bersahaja dihisasi tanaman berwarna-warni yang terhampar di setiap sudut pekarangan rumah semakin mempercantik dan terlihat lebih hijau meski sederhana. Kumpulan beberapa sangkar burung pun tak luput tergantung di pojok teras. Kicauan burung yang indah menambah suasana betah. Keluarlah seseorang yang bersahaja dari rumah ini. Bapak Mukmin Suryadi, beliau adalah guru SD dari SD Pundung Imogiri. Seseorang bermata teduh dan berambut perak menambah sahajanya penampilan beliau.
“Monggo Mba diminum dulu tehnya. Maaf yang ada hanya ini loh ya. Silakan jangan sungkan.” Tutur Beliau menyilakan sajian yang berada di meja teras beserta senyuman khasnya.
“Trimakasih Pak.” Jawabku sembari mengambil secangkir teh panas.
Suasana beranda yang bersahaja dihisasi tanaman berwarna-warni yang terhampar di setiap sudut pekarangan rumah semakin mempercantik dan terlihat lebih hijau meski sederhana. Kumpulan beberapa sangkar burung pun tak luput tergantung di pojok teras. Kicauan burung yang indah menambah suasana betah. Keluarlah seseorang yang bersahaja dari rumah ini. Bapak Mukmin Suryadi, beliau adalah guru SD dari SD Pundung Imogiri. Seseorang bermata teduh dan berambut perak menambah sahajanya penampilan beliau.
“Monggo Mba diminum dulu tehnya. Maaf yang ada hanya ini loh ya. Silakan jangan sungkan.” Tutur Beliau menyilakan sajian yang berada di meja teras beserta senyuman khasnya.
“Trimakasih Pak.” Jawabku sembari mengambil secangkir teh panas.
Tak disangka bapak yang dikaruniai tiga anak ini dan berwajah jepang tapi beralis tebal membagi kisahnya dengan gelak tawa namun bermuatan positif. Dari tahun 1972 beliau memulai perjuangan menjadi seorang guru. Pada tahun 1972 beliau bertugas di tanah rantau yaitu di pulau Belitung.
“Saat di perantauan kondisinya
sangat prihatin. Rumah yang kecil beratap pohon kelapa menjadi tempat berteduh
sepanjang hari. Alhamdulillah kepala Sekolah di sana ramah sekali. Beliau
adalah orang jawa juga. Pak Sahari namanya.”
Berkawan empat orang
yang beberapa waktu menjadi tiga orang atau malah menambah adalah menjadi
sebuah keluarga terdekat di perantauan. Tak pelak masalah berkebun pun
dikerjakan bagi pemenuhan kebutuhan pangan. Pernah dalam beberapa hari sampai
dapur tak mengepul. Bersyukur beliau ada kebun, jadi tiap kali tak ada uang
untuk beli bahan makanan ketela pun jadi diolah ala kadarnya tuk memenuhi perut
yang meraung hebat.
Kemudian tahun 1975 beliau
pindah ke pulau Jawa yaitu wilayah Yogyakarta . Di tahun inilah karier sebagai
guru beliau rintis lagi. Beberapa sekolahan telah menjadi saksi perjuangan
beliau mencerdaskan anak negeri. Dari beberapa sekolah yang beliau tangani bapak
yang cerdas ini selalu menjadi tangan kanan Sekolah. Ide–ide yang cemerlang
untuk pembangunan sekolah beliau sumbang. Terakhir beliau di tempatkan di SD
Pundung II yang kemudian SD tersebut berganti nama menjadi SD Pundung karena
ada peleburan antara Pundung I dan Pundung II. Pundung II merupakan SD unggulan
yang mencetak beberapa siswa berprestasi. Beberapa kali perlombaan dimenangkan
SD ini.
Pernah untuk mengejar
anak-anak siswa yang kurang paham terhadap mata pelajaran beliau ajar di
rumahnya tanpa pembiayaan sama sekali, gratis.
“Itu adalah panggilan
nurani mba. Lah bila melihat siswa tak naik kelas itu rasanya pedih. Jadi saya
kasih pelajaran tambahan tak terkecuali makanannya.” Selorohnya bercanda.
Menurut beliau mengajar
adalah sebuah seni. Anak-anak harus digiring untuk mengerti bukan semata-mata
nilai tinggi. Prinsip beliau adalah mendidik tak sebatas mengajar. Mendidik
maknanya lebih dalam dari mengajar. Tak hanya mencekoki dengan ilmu yang telah
ada di buku kemudian dituangkan ke otak siswa. “Bukan seperti itu!” tegasnya.
“Semua berproses,
perlahan. Jadi siswa itu saya kasih stimulus untuk menggelitik nalar mereka Mba.
Ada yang nangkapnya cepat. Ada yang hanya terbengong melihat teman-temannya
tertawa. Saya senang sekali menstimulus mereka dengan cerita yang membuat
mereka berfikir. Tak sekadar mendengar, ini saya lakukan disela-sela pelajaran.
Apalagi pelajaran matematika. Lah siswa itu konsentrasinya hanya sampai 30
menit. Betul itu. Jadi ya saya beri mereka relaksasi sehingga diharapkan
setelah itu pelajarannya nyantol,”papar beliau serius,” alhamdulillah beberapa
siswa langsung nyambung,” lanjutnya senang.
Sungguh mulianya guru
yang satu ini. Ditengah hiruk-pikuk yang membuat perekonomian kian meninggi
jumlah pengeluaran rumah tangga , tak menyurutkan semangatnya untuk mengajar
secara tulus.
“Masalah finansial ya
dicukup-cukupkan Mba,” tuturnya, “kalau tidak cukup ya gali lubang,”dilanjutnya
dengan gelak tawa.
“Jika tak kaya di sini
semoga di akherat nanti saya adalah orang paling kaya dengan amal jariyah.
Aamiin.”
Aku pun turut mengamini
beliau. Jam sudah siang ternyata, namun tak mau beranjak sedikitpun disisi bapak
berambut perak ini. Dikabarkannya dalam beberapa bulan lagi beliau akan
pensiun. Kesedihan malah terpancar dari wajahnya. Bukankah masa pensiun adalah
masa yang ditunggu?
“Sedih saya mba bentar
lagi pensiun. Apa ya saya itu merasa tidak bisa melakukan apapun. Apalagi
kondisi saya yang sudah tua dan beberapa penyakit menjangkiti. Diabetes yang
mengena mata saya membuat penglihatan saya tak setajam ketika muda juga kaki
yang sering terluka lama sembuhnya. Mata sudah beberapa kali dilaser maupun
pengobatan yang lain tak bisa sembuh karena sudah parah, kata dokter. Jadi ya
gini pensiun namun tak bisa naik sepeda. Gak berani saya, nanti nabrak apapun
,”jawabnya tertawa, “tapi semua itu saya syukuri apa adanya.”lanjutnya bijak.
Bermimpi menjadi
seorang guru ternyata bukan cita-citanya dulu. Beliau berkata menjadi tentara
yang bekerja di dapur (koki-tentara) adalah cita-citanya. Namun karena Ayah
beliau yang tak mengizinkan serta hanya bisa menyekolahkan sampai bangku SMA
membuatnya kecewa. Keluarga yang beranggotakan enam anak membuat bapak yang
bersahaja ini mengalah tak sampai perguruan tinggi.
“Saya itu anak keempat
dari enam bersaudara. Kakak-kakak malah hanya sekolah sampai SD. Maklum bukan
orang berada Mba keluarga saya. Saya kuliah lagi setelah 23 tahun setelah lulus
sekolah menengah atas. Alhamdulillah S1 Pkn terpegang.”
Bagi beliau mungkin
mengangkat pendidikan anak negeri adalah jalan rezeki yang akan mengantarkannya
ke surga. Meski tak sesuai dengan apa yang dicita-citakannya harus tetap
disyukuri. Kegiatan beliau sekarang masih tetap mengajar walaupun butuh bantuan
anaknya untuk membacakan naskah atau bab apa yang diajarkan keesokan harinya. “Heran
kok bisa ya?” pekik dalam hati. Ternyata benar asam-garam maupun materi
pelajaran sudah beliau minum sangat banyak dengan jangka waktu yang sangat lama
membuatnya tak perlu buku untuk mengajar. Sudah menempel di kepala. Menarik
nafas panjang. Sungguh perjuangan beliau tak mudah dan lama. Jadi terbesit
tanya dengan menunjuk diri sendiri, apa yang akan aku torehkan untuk negeriku
nanti?
“Menjadi Oemar Bakrie
bukan cita-cita saya Mba, akan tetapi panggilan hati mencerdaskan anak negeri
itulah yang menjadi kekuatan saya selama ini”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar