Jumat, 02 Mei 2014

SANG OEMAR BAKRIE



SOSOK INSPIRASI:
Nama               : Mukmin Suryadi, S.Pd
Pekerjaan         : Guru SD
Alamat             : Salaman RT 01, Karangtalun,Imogiri,Bantul,Yogyakarta

Semilir angin di hari Ahad kali ini berbeda dari biasanya. Entah apakah memang cuaca baru tak tentu atau karena aku akan bertemu dengan sosok yang luar biasa. Pagi ini aku tengah duduk di beranda sebuah rumah yang terletak di dusun Salaman RT 01 Desa Karangtalun Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul Propinsi Yogyakarta.
Suasana  beranda yang bersahaja dihisasi tanaman berwarna-warni yang terhampar di setiap sudut pekarangan rumah semakin mempercantik dan terlihat lebih hijau meski sederhana. Kumpulan beberapa sangkar burung pun tak luput tergantung di pojok teras. Kicauan burung yang indah menambah suasana betah. Keluarlah seseorang yang bersahaja dari rumah ini. Bapak Mukmin Suryadi, beliau adalah guru SD dari SD Pundung Imogiri. Seseorang bermata teduh dan berambut perak menambah sahajanya penampilan beliau.
 “Monggo Mba diminum dulu tehnya. Maaf yang ada hanya ini loh ya. Silakan jangan sungkan.” Tutur Beliau menyilakan sajian yang berada di meja teras beserta senyuman khasnya.
“Trimakasih Pak.” Jawabku sembari mengambil secangkir teh panas.

Tak disangka bapak yang dikaruniai tiga anak ini dan berwajah jepang tapi beralis tebal membagi kisahnya dengan gelak tawa namun bermuatan positif. Dari tahun 1972 beliau memulai perjuangan menjadi seorang guru. Pada tahun 1972 beliau bertugas di tanah rantau  yaitu di pulau Belitung.
“Saat di perantauan kondisinya sangat prihatin. Rumah yang kecil beratap pohon kelapa menjadi tempat berteduh sepanjang hari. Alhamdulillah kepala Sekolah di sana ramah sekali. Beliau adalah orang jawa juga. Pak Sahari namanya.”
Berkawan empat orang yang beberapa waktu menjadi tiga orang atau malah menambah adalah menjadi sebuah keluarga terdekat di perantauan. Tak pelak masalah berkebun pun dikerjakan bagi pemenuhan kebutuhan pangan. Pernah dalam beberapa hari sampai dapur tak mengepul. Bersyukur beliau ada kebun, jadi tiap kali tak ada uang untuk beli bahan makanan ketela pun jadi diolah ala kadarnya tuk memenuhi perut yang meraung hebat.
Kemudian tahun 1975 beliau pindah ke pulau Jawa yaitu wilayah Yogyakarta . Di tahun inilah karier sebagai guru beliau rintis lagi. Beberapa sekolahan telah menjadi saksi perjuangan beliau mencerdaskan anak negeri. Dari beberapa sekolah yang beliau tangani bapak yang cerdas ini selalu menjadi tangan kanan Sekolah. Ide–ide yang cemerlang untuk pembangunan sekolah beliau sumbang. Terakhir beliau di tempatkan di SD Pundung II yang kemudian SD tersebut berganti nama menjadi SD Pundung karena ada peleburan antara Pundung I dan Pundung II. Pundung II merupakan SD unggulan yang mencetak beberapa siswa berprestasi. Beberapa kali perlombaan dimenangkan SD ini.
Pernah untuk mengejar anak-anak siswa yang kurang paham terhadap mata pelajaran beliau ajar di rumahnya tanpa pembiayaan sama sekali, gratis.
“Itu adalah panggilan nurani mba. Lah bila melihat siswa tak naik kelas itu rasanya pedih. Jadi saya kasih pelajaran tambahan tak terkecuali makanannya.” Selorohnya bercanda.
Menurut beliau mengajar adalah sebuah seni. Anak-anak harus digiring untuk mengerti bukan semata-mata nilai tinggi. Prinsip beliau adalah mendidik tak sebatas mengajar. Mendidik maknanya lebih dalam dari mengajar. Tak hanya mencekoki dengan ilmu yang telah ada di buku kemudian dituangkan ke otak siswa. “Bukan seperti itu!” tegasnya.
“Semua berproses, perlahan. Jadi siswa itu saya kasih stimulus untuk menggelitik nalar mereka Mba. Ada yang nangkapnya cepat. Ada yang hanya terbengong melihat teman-temannya tertawa. Saya senang sekali menstimulus mereka dengan cerita yang membuat mereka berfikir. Tak sekadar mendengar, ini saya lakukan disela-sela pelajaran. Apalagi pelajaran matematika. Lah siswa itu konsentrasinya hanya sampai 30 menit. Betul itu. Jadi ya saya beri mereka relaksasi sehingga diharapkan setelah itu pelajarannya nyantol,”papar beliau serius,” alhamdulillah beberapa siswa langsung nyambung,” lanjutnya senang.
Sungguh mulianya guru yang satu ini. Ditengah hiruk-pikuk yang membuat perekonomian kian meninggi jumlah pengeluaran rumah tangga , tak menyurutkan semangatnya untuk mengajar secara tulus.
“Masalah finansial ya dicukup-cukupkan Mba,” tuturnya, “kalau tidak cukup ya gali lubang,”dilanjutnya dengan gelak tawa.
“Jika tak kaya di sini semoga di akherat nanti saya adalah orang paling kaya dengan amal jariyah. Aamiin.”
Aku pun turut mengamini beliau. Jam sudah siang ternyata, namun tak mau beranjak sedikitpun disisi bapak berambut perak ini. Dikabarkannya dalam beberapa bulan lagi beliau akan pensiun. Kesedihan malah terpancar dari wajahnya. Bukankah masa pensiun adalah masa yang ditunggu?
“Sedih saya mba bentar lagi pensiun. Apa ya saya itu merasa tidak bisa melakukan apapun. Apalagi kondisi saya yang sudah tua dan beberapa penyakit menjangkiti. Diabetes yang mengena mata saya membuat penglihatan saya tak setajam ketika muda juga kaki yang sering terluka lama sembuhnya. Mata sudah beberapa kali dilaser maupun pengobatan yang lain tak bisa sembuh karena sudah parah, kata dokter. Jadi ya gini pensiun namun tak bisa naik sepeda. Gak berani saya, nanti nabrak apapun ,”jawabnya tertawa, “tapi semua itu saya syukuri apa adanya.”lanjutnya bijak.
Bermimpi menjadi seorang guru ternyata bukan cita-citanya dulu. Beliau berkata menjadi tentara yang bekerja di dapur (koki-tentara) adalah cita-citanya. Namun karena Ayah beliau yang tak mengizinkan serta hanya bisa menyekolahkan sampai bangku SMA membuatnya kecewa. Keluarga yang beranggotakan enam anak membuat bapak yang bersahaja ini mengalah tak sampai perguruan tinggi.
“Saya itu anak keempat dari enam bersaudara. Kakak-kakak malah hanya sekolah sampai SD. Maklum bukan orang berada Mba keluarga saya. Saya kuliah lagi setelah 23 tahun setelah lulus sekolah menengah atas. Alhamdulillah S1 Pkn terpegang.”
Bagi beliau mungkin mengangkat pendidikan anak negeri adalah jalan rezeki yang akan mengantarkannya ke surga. Meski tak sesuai dengan apa yang dicita-citakannya harus tetap disyukuri. Kegiatan beliau sekarang masih tetap mengajar walaupun butuh bantuan anaknya untuk membacakan naskah atau bab apa yang diajarkan keesokan harinya. “Heran kok bisa ya?” pekik dalam hati. Ternyata benar asam-garam maupun materi pelajaran sudah beliau minum sangat banyak dengan jangka waktu yang sangat lama membuatnya tak perlu buku untuk mengajar. Sudah menempel di kepala. Menarik nafas panjang. Sungguh perjuangan beliau tak mudah dan lama. Jadi terbesit tanya dengan menunjuk diri sendiri, apa yang akan aku torehkan untuk negeriku nanti?
“Menjadi Oemar Bakrie bukan cita-cita saya Mba, akan tetapi panggilan hati mencerdaskan anak negeri itulah yang menjadi kekuatan saya selama ini”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar