Kamis, 27 Maret 2014

JOMBLO MULIA



Bunyi pintu kamar yang diketuk terdengar semakin keras menyebabkanku bangkit dari tidur. Pukul menunjukkan tiga pagi. Mata masih berdurasi 5 watt. Ngantuk.
“Umm iya iya bentar-bentar,” menggeliat ke kanan ke kiri.
“Din bangun, tahajud gih!” perintah Ibu dari seberang pintu.
“Iya, Bund,” jawabku sembari melenggang ke kamar mandi dengan mata setengah terbuka.
Duk. “Aw,“ pekikku menabrak pintu. Meringgis menahan sakit seraya tangan mengelus dahi yang sedikit menjadi lebih menonjol, bengkak. “Ihhh...” rintihku menahan senut-senut yang berubah ke pening.

Air mengalir di pagi hari yang menyentuh tangan serta wajah dan kaki membuat rasa kantukku menghilang. Sehabis wudu telah siaplah aku untuk bertemu dengan Robbiku. Diheningnya malam semua rasa kucurahkan. Tak ada yang tertinggal. Impian menjadi anak sholehah, istri sholehah, dan ibu sholehah yang doanya didengar tanpa hijab selalu kulantunkan. Allah. Bisik-bisik hatiku semoga Engkau hijabahi, Aamiin.
***
“Assaamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Seraya mengecup tangan Bunda dan Ayah aku pamit ke Sekolah. Sepeda telah disiapkan.
 “ Bannya perlu dipompa gak Kak?” tanya Ayah memastikan sepedaku baik-baik saja untuk dikendarai.
“Umm semuanya ok komandan. Siap berangkat!” dengan gerakan tangan menghormat layaknya hormat kepada Presiden disertai senyuman termanis aku berikan kepada ayah dan bunda.
 Mengkayuh di atas sepeda pink sangat menyenangkan. Selain menyehatkan juga lebih akur di kantong. Dua puluh menit lagi bel berbunyi. Langit masih memerah yang berangsur-angsur memucat. Sudahku duduk di beranda kelas.Longgarnya waktu ku manfaatkan untuk membaca, apapun. Jika tidak, menyapu adalah alternatifnya ketika jadwal piket didapat. Sunyi melekat di pojok-pojok dinding kelas. Beku. Hanya gadis berjilbab putih satu itu yang telah menarik tiap-tiap lembar buku.
“Hai cewek,” sapa Arni teman satu kelas Dinda yang tiba-tiba masuk.
“Assalamualaikum,” jawabku kepadanya dengan seulas senyuman.
Kuperhatikan gadis ini lebih bersih dan rapi tak seperti biasanya. Sebagai anak SMA kelas dua tentu saja hal ini bisa kurasai, ya betul karena masa-masa kami adalah masa-masa virus merah jambu itu tersebar merdu.
“Ar kamu bedakan?eh pake lipstik pula,” celetukku dengan tanpa aba-aba
Terbengong dengan pertanyaanku yang sedikit kurang elite ia hanya membalas dengan kekehan. Arni sebelumnya tak seperti itu. Ia adalah seseorang yang anggun. Kata cantik pun melekat erat dengan wajah yang ia punya. Namun memandangnya dengan berbagai polesan merah dan putih yang teramat tebal menurutku kurang begitu cocok untuknya.
“Duh duh Arni-Arni,” ucapku lirih sembari menghela nafas dalam.
***
Lonceng pertanda pulang bergema. Bergegas aku pulang. Ketika berjalan menuju parkiran aku melihat seseorang yang menjemput gadis ayu itu, Arni. Ia berdiri di bawah pohon ringin yang berada di seberang jalan samping Sekolah. Kebetulan tembok pagar yang mengelilingi sekolahan hanya setinggi 1.5 meter maka suasana di luar Sekolah terlihat jelas.  Kuperhatikan dari jauh Arni dihampiri seorang lelaki bermotor.  “Hah kok!” terkejut, karena sebelum berbonceng Arni dicium lelaki yang kuterka sebagai pacarnya itu.
“Astagfirullah,” pekikku ,” Allah jagalah hambamu ini dari perbuatan yang demikian. Jaga hamba Allah, jiwa dan ragaku hanya untuk  suamiku kelak. Aamiin.”
***
 “Kenapa kamu jomblo terus?” tanya Arni sembari melotot.
“Bukankah kita mendekati zina saja dilarang, apalagi berpegang tangan!” jawabku tegas.Tubuhnya bergetar tak kuat dengan lesatan tajam mataku.

2 komentar:

  1. Bagus prinsipnya, yang seperti ini lebih menarik dari yang murahan, saya suka ceritanya, jadilah wanita mahal...........
    Ini postingan terbaru saya KLIK DI SINI

    BalasHapus
  2. makasih Kang Dana ...jangan kapok mengunjungin lapak sya ya :-)

    BalasHapus