Bunyi pintu kamar yang diketuk
terdengar semakin keras menyebabkanku bangkit dari tidur. Pukul menunjukkan
tiga pagi. Mata masih berdurasi 5 watt. Ngantuk.
“Umm iya iya
bentar-bentar,” menggeliat ke kanan ke kiri.
“Din bangun, tahajud gih!”
perintah Ibu dari seberang pintu.
“Iya, Bund,” jawabku
sembari melenggang ke kamar mandi dengan mata setengah terbuka.
Duk. “Aw,“ pekikku
menabrak pintu. Meringgis menahan sakit seraya tangan mengelus dahi yang sedikit
menjadi lebih menonjol, bengkak. “Ihhh...” rintihku menahan senut-senut yang
berubah ke pening.
Air mengalir di pagi
hari yang menyentuh tangan serta wajah dan kaki membuat rasa kantukku
menghilang. Sehabis wudu telah siaplah aku untuk bertemu dengan Robbiku.
Diheningnya malam semua rasa kucurahkan. Tak ada yang tertinggal. Impian
menjadi anak sholehah, istri sholehah, dan ibu sholehah yang doanya didengar
tanpa hijab selalu kulantunkan. Allah. Bisik-bisik hatiku semoga Engkau
hijabahi, Aamiin.
***
“Assaamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Seraya mengecup tangan
Bunda dan Ayah aku pamit ke Sekolah. Sepeda telah disiapkan.
“ Bannya perlu dipompa gak Kak?” tanya Ayah
memastikan sepedaku baik-baik saja untuk dikendarai.
“Umm semuanya ok
komandan. Siap berangkat!” dengan gerakan tangan menghormat layaknya hormat
kepada Presiden disertai senyuman termanis aku berikan kepada ayah dan bunda.
Mengkayuh di atas sepeda pink sangat
menyenangkan. Selain menyehatkan juga lebih akur di kantong. Dua puluh menit
lagi bel berbunyi. Langit masih memerah yang berangsur-angsur memucat. Sudahku
duduk di beranda kelas.Longgarnya waktu ku manfaatkan untuk membaca, apapun.
Jika tidak, menyapu adalah alternatifnya ketika jadwal piket didapat. Sunyi
melekat di pojok-pojok dinding kelas. Beku. Hanya gadis berjilbab putih satu
itu yang telah menarik tiap-tiap lembar buku.
“Hai cewek,” sapa Arni
teman satu kelas Dinda yang tiba-tiba masuk.
“Assalamualaikum,” jawabku
kepadanya dengan seulas senyuman.
Kuperhatikan gadis ini
lebih bersih dan rapi tak seperti biasanya. Sebagai anak SMA kelas dua tentu
saja hal ini bisa kurasai, ya betul karena masa-masa kami adalah masa-masa
virus merah jambu itu tersebar merdu.
“Ar kamu bedakan?eh
pake lipstik pula,” celetukku dengan tanpa aba-aba
Terbengong dengan
pertanyaanku yang sedikit kurang elite ia hanya membalas dengan kekehan. Arni
sebelumnya tak seperti itu. Ia adalah seseorang yang anggun. Kata cantik pun
melekat erat dengan wajah yang ia punya. Namun memandangnya dengan berbagai
polesan merah dan putih yang teramat tebal menurutku kurang begitu cocok
untuknya.
“Duh duh Arni-Arni,” ucapku
lirih sembari menghela nafas dalam.
***
Lonceng pertanda pulang
bergema. Bergegas aku pulang. Ketika berjalan menuju parkiran aku melihat
seseorang yang menjemput gadis ayu itu, Arni. Ia berdiri di bawah pohon ringin
yang berada di seberang jalan samping Sekolah. Kebetulan tembok pagar yang
mengelilingi sekolahan hanya setinggi 1.5 meter maka suasana di luar Sekolah
terlihat jelas. Kuperhatikan dari jauh
Arni dihampiri seorang lelaki bermotor. “Hah
kok!” terkejut, karena sebelum berbonceng Arni dicium lelaki yang kuterka
sebagai pacarnya itu.
“Astagfirullah,” pekikku
,” Allah jagalah hambamu ini dari perbuatan yang demikian. Jaga hamba Allah,
jiwa dan ragaku hanya untuk suamiku
kelak. Aamiin.”
***
“Kenapa kamu jomblo terus?” tanya Arni sembari
melotot.
“Bukankah kita
mendekati zina saja dilarang, apalagi berpegang tangan!” jawabku tegas.Tubuhnya
bergetar tak kuat dengan lesatan tajam mataku.
Bagus prinsipnya, yang seperti ini lebih menarik dari yang murahan, saya suka ceritanya, jadilah wanita mahal...........
BalasHapusIni postingan terbaru saya KLIK DI SINI
makasih Kang Dana ...jangan kapok mengunjungin lapak sya ya :-)
BalasHapus