Kamis, 27 Maret 2014

MEMORIES



 “...global warming memang membawa perubahan dalam berbagai hal. Selain sektor pertanian yang terganggu, udara yang panas membuat kita mudah capai dan dehidrasi. Diharapkan kepada seluruh warga untuk minum lebih dari 1,5 L....” cuap-cuap penyiar radio yang kudengarkan siang ini. Panas benar cuaca. Sampai-sampai sehabis mandi saja keringat dipunggung tergelincir deras. Kerudung pink yang kukenakan tak bisa tidak menjadi lebih basah. Debu pun mulai berterbangan. Aku yang mulanya berada di beranda rumah kemudian masuk ke kamar karena gerah. Kerudung kulepas, kipas angin kunyalakan. Hari minggu yang seharusnya santai terasa terganggu akibat cuaca hari ini.

Kulemparkan diri ke lautan kapuk, nyaman. Beberapa detik mata memandang langit-langit kamar. Rumah sangat sepi. Terasa sunyi. Ibu yang kondangan, Kaka yang merantau di negeri tetangga. Yah aku kesepian. Badan kumiringkan. Di rak buku mataku menangkap bayang “Sebuah Kotak”. Kujauhkan diri dari kasur menuju ke kotak itu. Mengerkap-ngerjap mata ini melihat kotak mungil. Senyum kecil mulai merekah.
“Onta mungilku dan berlian hatiku” desisku kepada angin diiringi tertawa kecil.
Apalagi dan bukan, jika di dalam kotak pandora ini terdapat sesuatu yang mengingatkanku pada seseorang. Bukan cerita yang menyenangkan tapi juga bukan menyedihkan. Bukan-bukan! Aku menyebutnya my first sign, my first love. Seperti masuk ke dalam mesin waktu, tubuhku terlempar di tahun itu.
“Aduh..brukk “ semua mata memandang ke arahku ,buku-buku yang kubawa berserakan kemana-mana. Posisi tak mengenakkan. Bibir kugigit menahan malu. Dan tak ada yang menolongku makin membuat diri ini seperti pisang yang dikuliti kemudian dimakan tanpa dikunyah. “Ya Allah.”Menata nafas dan perasaan yang terpecah karena menahan rasa yang berkecamuk di dada. Satu – persatu buku kukumpulkan. Jongkok berdiri jongkok berdiri. Akhirnya selesai. “Fiuh.”
Aku , Zahra mahasiswa semester 5 di salah satu Universitas Yogyakarta, mengambil jurusan matematika. Anak yang berkacamata dan kutu buku. Yah memang benar aku tak semenarik yang lain yang bergaya modis dan berkumpul tiap waktu bersama teman-temannya. Mereka tertawa gembira serta sorak-sorai bersama teman-temannya di kafe, aku? Tidak! Yang kulakukan adalah selalu di perpustakaan ketika waktu istirahat maupun luang, my favorite place. Mungkin karena kondisi keluargaku yang bukan orang berada seperti yang lainnya jadi study adalah pilihan nomor satu.  Namun ada yang membuatku kurang, aku tak terlalu banyak teman. Hanya mereka-mereka saja yang berhobi sama, membaca.
“Assalamualaikum Bund.” panggilku kepada Bu Siti petugas perpustakaan yang telah akrab denganku.
“Waalaikumsalam.” sambutnya dengan senyum merekah indah
“Mau ngembaliin buku nich Bund.”
“Sini lah bukunya,” dijawab dengan gaya melayunya,”sana jika mau baca.”
Dengan senyum aku jawab, “okay Bund, aku baca dulu ya.”
Berhambur aku ke tiap-tiap rak full buku. Rak buku ini tertata sangat rapi dan bersih meski kesan sederhana tersemat untuk pola penataan ruang perpustakaannya. Buku-buku ini ditata saling membelakangi ,jika kedua sisi buku dikosongi akan terlihat disisi lainnya. Bolong. Meja yang digunakan untuk membaca pun dibuat senyaman mungkin. Ada yang panjang , ada pula yang satu meja hanya digunakan satu orang dengan sekat jadi tak terganggu dengan yang lainnya. Serasa dunia milik sendiri. Bacaan favoriteku novel meski jurusan matematika tak selalu aku membaca buku tebal bermuatan aljabar jika berada di pusat jendela dunia ini.
                “ Aha,.akhirnya aku menemukannya” kuambil buku berbalut biru itu. Tap . kedua tangan dari dua orang yang berbeda memegang buku yang sama. Terkejut. Sejurus mata kulayangkan kepada orang yang akan merebut buku pilihanku. Mata kami bertemu. Tak tahan dan aku melepaskan cengkeraman terhadap buku manis yang aku ingini itu. Sedih. Orang itu menang. Aku tak bisa berbuat banyak karena dia lelaki. Untung tanganku dan dia tak bersentuhan andai iya aduh semakin tak enak. Menghela nafas , tanpa komando aku pun meninggalkan buku itu.
                “Eh,.umm ini untuk kamu saja,” katanya agak terbata. Mungkin dia tak enak melihat raut wajahku yang mulanya berbinar menjadi mendung. Aku pun berhenti dan memutar badan. Beberapa detik aku memandangnya, mencari apakah benar dia dengan tulus berkata demikian.“Ini, aku akan mencari yang lainnya. Umm jika bisa  kalau udah selesai, gantian aku ya,” tawarnya sembari menyodorkan buku itu. Lega sekali rasanya, tak canggung aku pun menerima tawaran lelaki berwajah sahaja itu. Tak menyangka , berawal dari menyukai buku novel biru itu kami menjadi akrab. Kami sering sekali bertemu di perpustakaan ini dan bercengkrama. Ternyata dia juga sering sekali ke perpustakaan ini. Dulu kemana saja ya perhatianku sampai-sampai ada orang yang baik nan ramah seperti dia aku tak melihatnya! Tak salah lagi, semua perhatian tersita dengan sesuatu yang dicinta , buku.
                Faris merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan Fisika.Pengajuan judul skripsi yang tengah dibuatnya membuat ia semakin rajin ke perpustakaan. Saat aku tiba di sana lelaki berwajah bersahaja itu telah berkutat dengan buku-buu tebal yang berada di sisi kanan maupun kirinya. Aku yang melihatnya dari kejauhan diam-diam mendoakan. “Allah lancarkan dan sukseskan ia, Aamiin,” doaku dalam hati. Punggungnya mulai ia sandarkan mungkin karena lelah. Kemudian menggeliat dan melakukan gerakan memutar kanan- kiri seperti saat berolah raga hanya saja ia lakukan dalam keadaan duduk. Ketika memutar tubuhnya, kedua bola matanya jatuh tepat ke bola mataku. Deg . perasaanku tergagap menerima tatapannya. Ia juga sedikit terkejut , kami sama-sama terkejut. Untuk menutupi rasa gugup aku sapa ia terlebih dahulu. Eh malah diajak duduk disisinya, seperti biasanya kami malah mengobrol.
“Dua minggu lagi aku mau umroh Ra,” ujarnya yang membuatku antara terkejut , senang, serta entahlah apa yang kurasakan mendengar kata “Umrah”. “Subhanallah, aku nitip doa ya. Ya Allah turut bahagia Mas” haru dan hampir menitikkan air mata. Beberapa minggu kemudian rasanya menjadi hal yang lain. Sepi. “Apakah aku jatuh cinta?ah tidak-tidak-tidak!” ucapku kepada diriku sendiri tak percaya mengapa perasaan seperti ini timbul saat Mas Faris tak ada. Hari-hariku menjadi biru.
Senyum kembali merekah saat Mas Faris pulang ke Indonesia dan menceritakan pengalamannya ketika di sana. “Ya Allah hamba mohon mudahkan hamba untuk dapat ke rumah Mu, Aamiin,” pekikku dalam hati. “Ra, bawa ini ya.”kata Ma Faris sembari memberi boneka kecil onta dan gelang cantik. “Eh lucu Mas Ontanya, wah gelang juga. Cantik! Makasih ya.” ucapku sembari tersenyum.Dua tahun sudah berlalu walaupun kami tak pernah ketemu karena ia bekerja di kota lain komunikasi kami tetap lancar.
Kulihat jam menunjukkan pukul 10. “Mas kok belum sms ya sampai mana dia,” cemasku jika suami ada apa-apa di jalan. Daripada tak ada kerjaan aku membuat sup buah siapa tahu ia pulang cepat. kan bisa langsung minum minuman yang menyegarkan. Stroberi , mangga, melon, nanas,susu, dan sirup telah tersedia. Pada waktu asik –asiknya menyiapkan sup buah ,tiba-tiba ada orang yang memelukku dari belakang sontak saja aku meronta dan teriak. Untung saja pisau tak langsung kutikam ke orang itu. “Astagfirullah Mas Faris! ade baru pegang pisau ni. Untung saja gak aku sabetkan. Ihhh nanti kalau kamu kenapa-napa gimana!”pekikku serta rasa panik, kaget, marah, senang, semua jadi satu. “Maaf” kata Mas Faris sembari mendekatiku dan memeluk dengan erat. Berangsur-angsur aku kembali tenang. “Ihh kerjaannya ngagetin mulu,”cubitku ke perutnya kesal.
“Ah masak sih,” godanya yang tak bisa membuatku berkata tidak atau marah padanya, “ loh ini bukannya pemberianku dulu ya?”tanyanya saat melihat onta kecil dan gelang yang ia berikan selepas umroh. Hanya kujawab dengan senyuman. Mas Faris terkadang ada perjalanan dinas dan seperti kebanyakan selalu ke luar kota. Kami menikah setelah aku wisuda. Onta kecil dan gelang permata biru adalah benda yang selalu membuat aku teringat padanya. Kenangan. Mas Faris kucinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar