“Onta
mungilku dan berlian hatiku” desisku kepada angin diiringi tertawa kecil.
Apalagi dan
bukan, jika di dalam kotak pandora ini terdapat sesuatu yang mengingatkanku
pada seseorang. Bukan cerita yang menyenangkan tapi juga bukan menyedihkan.
Bukan-bukan! Aku menyebutnya my first
sign, my first love. Seperti masuk ke dalam mesin waktu, tubuhku terlempar
di tahun itu.
“Aduh..brukk
“ semua mata memandang ke arahku ,buku-buku yang kubawa berserakan kemana-mana.
Posisi tak mengenakkan. Bibir kugigit menahan malu. Dan tak ada yang menolongku
makin membuat diri ini seperti pisang yang dikuliti kemudian dimakan tanpa
dikunyah. “Ya Allah.”Menata nafas dan perasaan yang terpecah karena menahan rasa
yang berkecamuk di dada. Satu – persatu buku kukumpulkan. Jongkok berdiri
jongkok berdiri. Akhirnya selesai. “Fiuh.”
Aku , Zahra
mahasiswa semester 5 di salah satu Universitas Yogyakarta, mengambil jurusan
matematika. Anak yang berkacamata dan kutu buku. Yah memang benar aku tak
semenarik yang lain yang bergaya modis dan berkumpul tiap waktu bersama
teman-temannya. Mereka tertawa gembira serta sorak-sorai bersama teman-temannya
di kafe, aku? Tidak! Yang kulakukan adalah selalu di perpustakaan ketika waktu
istirahat maupun luang, my favorite place.
Mungkin karena kondisi keluargaku yang bukan orang berada seperti yang lainnya
jadi study adalah pilihan nomor
satu. Namun ada yang membuatku kurang,
aku tak terlalu banyak teman. Hanya mereka-mereka saja yang berhobi sama,
membaca.
“Assalamualaikum
Bund.” panggilku kepada Bu Siti petugas perpustakaan yang telah akrab denganku.
“Waalaikumsalam.”
sambutnya dengan senyum merekah indah
“Mau
ngembaliin buku nich Bund.”
“Sini lah
bukunya,” dijawab dengan gaya melayunya,”sana jika mau baca.”
Dengan
senyum aku jawab, “okay Bund, aku baca dulu ya.”
Berhambur
aku ke tiap-tiap rak full buku. Rak
buku ini tertata sangat rapi dan bersih meski kesan sederhana tersemat untuk
pola penataan ruang perpustakaannya. Buku-buku ini ditata saling membelakangi ,jika
kedua sisi buku dikosongi akan terlihat disisi lainnya. Bolong. Meja yang
digunakan untuk membaca pun dibuat senyaman mungkin. Ada yang panjang , ada
pula yang satu meja hanya digunakan satu orang dengan sekat jadi tak terganggu
dengan yang lainnya. Serasa dunia milik sendiri. Bacaan favoriteku novel meski
jurusan matematika tak selalu aku membaca buku tebal bermuatan aljabar jika
berada di pusat jendela dunia ini.
“ Aha,.akhirnya aku
menemukannya” kuambil buku berbalut biru itu. Tap . kedua tangan dari dua orang
yang berbeda memegang buku yang sama. Terkejut. Sejurus mata kulayangkan kepada
orang yang akan merebut buku pilihanku. Mata kami bertemu. Tak tahan dan aku
melepaskan cengkeraman terhadap buku manis yang aku ingini itu. Sedih. Orang
itu menang. Aku tak bisa berbuat banyak karena dia lelaki. Untung tanganku dan
dia tak bersentuhan andai iya aduh semakin tak enak. Menghela nafas , tanpa
komando aku pun meninggalkan buku itu.
“Eh,.umm ini untuk kamu saja,”
katanya agak terbata. Mungkin dia tak enak melihat raut wajahku yang mulanya
berbinar menjadi mendung. Aku pun berhenti dan memutar badan. Beberapa detik
aku memandangnya, mencari apakah benar dia dengan tulus berkata demikian.“Ini,
aku akan mencari yang lainnya. Umm jika bisa kalau udah selesai, gantian aku ya,” tawarnya
sembari menyodorkan buku itu. Lega sekali rasanya, tak canggung aku pun menerima
tawaran lelaki berwajah sahaja itu. Tak menyangka , berawal dari menyukai buku
novel biru itu kami menjadi akrab. Kami sering sekali bertemu di perpustakaan
ini dan bercengkrama. Ternyata dia juga sering sekali ke perpustakaan ini. Dulu
kemana saja ya perhatianku sampai-sampai ada orang yang baik nan ramah seperti
dia aku tak melihatnya! Tak salah lagi, semua perhatian tersita dengan sesuatu
yang dicinta , buku.
Faris merupakan mahasiswa
tingkat akhir jurusan Fisika.Pengajuan judul skripsi yang tengah dibuatnya
membuat ia semakin rajin ke perpustakaan. Saat aku tiba di sana lelaki berwajah
bersahaja itu telah berkutat dengan buku-buu tebal yang berada di sisi kanan
maupun kirinya. Aku yang melihatnya dari kejauhan diam-diam mendoakan. “Allah
lancarkan dan sukseskan ia, Aamiin,” doaku dalam hati. Punggungnya mulai ia
sandarkan mungkin karena lelah. Kemudian menggeliat dan melakukan gerakan
memutar kanan- kiri seperti saat berolah raga hanya saja ia lakukan dalam
keadaan duduk. Ketika memutar tubuhnya, kedua bola matanya jatuh tepat ke bola
mataku. Deg . perasaanku tergagap menerima tatapannya. Ia juga sedikit terkejut
, kami sama-sama terkejut. Untuk menutupi rasa gugup aku sapa ia terlebih
dahulu. Eh malah diajak duduk disisinya, seperti biasanya kami malah mengobrol.
“Dua minggu
lagi aku mau umroh Ra,” ujarnya yang membuatku antara terkejut , senang, serta
entahlah apa yang kurasakan mendengar kata “Umrah”. “Subhanallah, aku nitip doa
ya. Ya Allah turut bahagia Mas” haru dan hampir menitikkan air mata. Beberapa
minggu kemudian rasanya menjadi hal yang lain. Sepi. “Apakah aku jatuh cinta?ah
tidak-tidak-tidak!” ucapku kepada diriku sendiri tak percaya mengapa perasaan
seperti ini timbul saat Mas Faris tak ada. Hari-hariku menjadi biru.
Senyum
kembali merekah saat Mas Faris pulang ke Indonesia dan menceritakan
pengalamannya ketika di sana. “Ya Allah hamba mohon mudahkan hamba untuk dapat
ke rumah Mu, Aamiin,” pekikku dalam hati. “Ra, bawa ini ya.”kata Ma Faris
sembari memberi boneka kecil onta dan gelang cantik. “Eh lucu Mas Ontanya, wah gelang
juga. Cantik! Makasih ya.” ucapku sembari tersenyum.Dua tahun sudah berlalu
walaupun kami tak pernah ketemu karena ia bekerja di kota lain komunikasi kami
tetap lancar.
Kulihat jam
menunjukkan pukul 10. “Mas kok belum sms ya sampai mana dia,” cemasku jika
suami ada apa-apa di jalan. Daripada tak ada kerjaan aku membuat sup buah siapa
tahu ia pulang cepat. kan bisa langsung minum minuman yang menyegarkan.
Stroberi , mangga, melon, nanas,susu, dan sirup telah tersedia. Pada waktu asik
–asiknya menyiapkan sup buah ,tiba-tiba ada orang yang memelukku dari belakang
sontak saja aku meronta dan teriak. Untung saja pisau tak langsung kutikam ke
orang itu. “Astagfirullah Mas Faris! ade baru pegang pisau ni. Untung saja gak aku
sabetkan. Ihhh nanti kalau kamu kenapa-napa gimana!”pekikku serta rasa panik,
kaget, marah, senang, semua jadi satu. “Maaf” kata Mas Faris sembari
mendekatiku dan memeluk dengan erat. Berangsur-angsur aku kembali tenang. “Ihh
kerjaannya ngagetin mulu,”cubitku ke perutnya kesal.
“Ah masak
sih,” godanya yang tak bisa membuatku berkata tidak atau marah padanya, “ loh
ini bukannya pemberianku dulu ya?”tanyanya saat melihat onta kecil dan gelang
yang ia berikan selepas umroh. Hanya kujawab dengan senyuman. Mas Faris
terkadang ada perjalanan dinas dan seperti kebanyakan selalu ke luar kota. Kami
menikah setelah aku wisuda. Onta kecil dan gelang permata biru adalah benda
yang selalu membuat aku teringat padanya. Kenangan. Mas Faris kucinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar