Senin, 24 Maret 2014

RUMAHKU SURGAKU





Mata Ranu terbelalak mendapati pohon emas yang berada di puncak Gunung Golden. Teropong yang ia gunakan untuk membidik  pohon emas diturunkan perlahan. Terpesona akan keindahan pohon emas, Ranu terdiam. Mulutnya menganga, dadanya membuncah senang tiada kepalang. Ingin segera terbang meluncur ke puncak jika seandainya ia bersayap. Meski masih sangat jauh untuk sampai di pohon itu, semangat Ranu untuk mendaki tak surut. Tak hanya mendaki gunung tantangannya.
Namun sebelum berada dititik kaki Ranu berpijak sekarang, ia telah melewati 3 bukit Bantangan. Peluh bercucuran membasahi wajah lelahnya.
“Panasnya,”  seru Ranu sambil menyeka keringat kemudian mengambil air minum. Diteguklah air yang berada dibotol hijau itu.  Diliriknya ternyata air yang ia bawa tinggal setengah botol.
“Wah harus irit biar nanti tak kehabisan bekal, tapi kalau nanti habis di jalan Aku nyari dimana ya. Semoga ada rumah penduduk di atas jadi bisa minta sedikit air,” cemas Ranu.
Perjalanan berlanjut, sampai dipersimpangan jalan ia melihat ada kakek tua duduk termenung sendirian. Dilewatinya kakek tua itu. Langkahnya terhenti, terbesit tanya kenapa kakek tua itu diam dan hanya mengamati tongkatnya juga merunduk. Mungkin ia tersesat fikirku. Ranu menghampiri kakek, yang kemudian tertangkap sedang menghentak-hentakkan tongkat yang  ia pegang dengan lirih.  
“Kek, kenapa disini sendiri, apa kakek tersesat,” tanya Ranu polos. Kakek perlahan mengangkat wajahnya. Rambut putih panjang dan tergerai serta poni yang menutupi wajahnya membuat bulu kuduk Ranu berdiri. Gemetar. Buru-buru ia hilangkan rasa takutnya.  “Ananda, siapa! Ada perlu apa sampai di tanah ini?”gertak kakek berbaju putih.
Tersentak. Dengan tergagap karena takut Ranu menjawab,”Sa..sa..saya Ranu kek. Saya dari desa seberang yang berjarak empat bukit Bantangan dari sini.” Jelas Ranu, “saya berpetualang untuk melihat secara dekat pohon emas yang ada di puncak gunung ini.”lanjut Ranu, perlahan rasa takut itu surut.
Kakek mengangguk mengerti kemudian ia berbicara lebih halus dari pada awal tadi,”Ananda harus tahu jika ingin naik kesana harus ada persiapan terlebih dulu. Apa Ananda telah mempersiapkannya? misal air minum apa sudah cukup, peralatan p3K jika terluka, serta peralatan lainnya yang kiranya berguna dan berfungsi tepat. Hmm jika ingin melakukan sesuatu sebaiknya kita rencanakan terlebih dulu, Ananda.” Kakek memberi nasihat panjang lebar. Aku yang tadi masih berdiri ia persilakan duduk bersisian dengannya.  
 “Nama kamu siapa,” tanya kakek
“Ranu kek”
“Nama yang bagus” angguk Kakek sembari mengelus-ngelus jenggot putihnya. Tertegun aku dan tersadar kemudian bertanya,“Kakek ini penduduk sinikah? Kenapa hanya sendirian disini?”tanya Ranu selidik.
“Hmm rumahku di kaki gunung ini. Seperti biasa kakek duduk ditempat ini menunggu cucu kakek yang beberapa hari ini belum pulang. Siapa tahu kalau ia pulang lewat sini kakek bisa menyambutnya. “ jawab kakek dengan raut wajah yang berubah, sedih. Kami berbincang santai sampai-sampai lupa waktu. Lupa jika harus mendaki gunung ini. Padahal si mentari sudah mulai pamit untuk pulang ke rumah, senja menyapa. Kakek memahami kondisiku. Ia menawarkan tempat tinggal dan sedikit makanan karena tahu rasa lelah telah menempel diwajah remaja itu.
Pagi harinya, perjalanan dilanjut. Rasanya tak tega untuk meninggalkan kakek yang hanya sendirian tinggal disini. Seseorang yang mandiri serta mempunyai cinta yang besar terhadap cucunya, tapi sayang cucunya kurang bersahabat padahal beliau telah membesarkannya dengan susah payah. Ia menceritakan kisahnya semalam yang kutahui kisah ini tentang mimpi-mimpi Bian, nama cucunya. Mimpi yang telah ia raih sampai-sampai menciptakan jarak dengan orang yang ia sayang. Jarak antara kakek dan Bian.
Terenyuh dengan kesabaran kakek karena tetap sayang meski Bian sampai sekarang belum pulang menjenguk kakek atau sekadar kirim kabar lewat surat.  Sungguh kesabaran itu mahal , ikhlaspun tak sembarangan orang mampu melewatinya. Kakek doaku untukmu semoga dikuatkan dan Bian segera tersadar ada orang yang mencintainya menunggu disini, di rumah, yaitu kakek.
Impian tetap impian harus ada tekad mencapainya. Hanya, jika impian itu tercapai jangan sampai lupa seperti kacang tak ingat akan kulitnya. Diperjalanan mendadak Aku teringat Ibu, Ayah, dan Adik di rumah. Sabar – sabar. Mereka tak membersamaiku mendaki karena kondisi fisik yang tak memungkinkan, akan tetapi doa mereka selalu terlantunkan. Kemudian kukeluarkan secarik kertas. Wajah Ayah, Ibu, maupun Adik Aku gambar.  “Yah, selesai,” kemudian kulipat dan dimasukkan ke saku. Sebagai pengingat diri jangan sampai lupa jika impianku tercapai nanti. Ku bawa serta keluarga dihatiku. Menikmati keindahan Illahi, pohon emas.
Puncak Gunung Golden , pohon emas tunggu aku! Pekikku dalam hati. Jatuh , terpeleset, dan luka. Perjalanan memang tak selamanya mulus dan nyaman. Seperti yang kurasakan sekarang. Sendirian melakukan pendakian. Kadang perihnya tangan terkena dahan runcing ,aku mengaduh. Perih. Badan pegal sangat, peluh bercucuran hebat. Semua rasa kutanam dibenak, kesakitan ini hanya sementara. Jika sudah di atas nikmat pasti dirasa. Puncak tinggal beberapa langkah. Dilangkah kesepuluh, puncak Gunung Golden.
“Aku sampaiiii...,”teriak sekencang kumampu, “alhamdulillah,”sujud syukur pada-Nya. Membuncah gemuruh dada. Rasa senang lega tiada kira. Lelah seakan sirna. Impian yang selama ini aku inginkan tercapai yaitu memandang pohon emas sedekat ini. Subhanallah pohon ini benar-benar ajaib. Mata memejam mencari rasa nyaman. Segar. Pohon emas, daunnya bisa kuraih dan bisa meraba tiap lekuknya. Warna pohon ini memang keemasan. Makanya orang-orang menyebutnya pohon emas. Pohonnya rimbun, dahannya menggelayut menyentuh tanah. Aku duduk disela-sela akar yang menonjol disana-sini berharap rasa lelah segera susut. Sembari minum dan menikmati keindahan alam-Nya kulantunkan dzikir penenang hati.  
“Subhanallah walhamdulillah astagfirullah wallahu akbar ,” sembari membuka selembar kertas yang ada di saku, wajah keluargaku. Tersenyum lega. Beberapa menit aku turun , pulang. Rasa bahagia menghinggapi badan. Alhamdulilah perjalanan lancar. Sampai di rumah malam. Kukecup tangan ibu yang membukakan pintu. Ibu sudah menyiapkan air hangat serta hidangan kesukaanku. Haru. Setelah mandi kami sekeluarga bercengkrama tentang petualanganku. Rasa lelah terbayar lunas dengan melihat senyuman dari Ayah, Ibu ,dan Adik. Yah petualangan kali ini memberikan hikmah yang biasanya tak kudapati dipetualangan lainnya. Bermula dipertemukan seorang kakek yang membuatku tersadar akan cinta keluarga yang begitu besar, tulus, dan murni meski terkadang mata gelap dengan gemerlap duniawi. Lupa sewaktu sukses diraih.
Sungguh begitu sabarnya kakek itu membuatku mengingat sosok-sosok yang kucintai. Kutanamkan dalam hati, meski aku pergi jauh menjemput impian namun tempat yang membuatku nyaman adalah disini. Keluargaku. Sejauh aku melangkah keluargaku adalah tempat tuk berlabuh. Aku cinta keluargaku. Keluarga adalah rumahku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar