Namun sebelum berada dititik kaki Ranu berpijak sekarang, ia telah melewati 3 bukit Bantangan. Peluh bercucuran membasahi wajah lelahnya.
“Panasnya,” seru Ranu sambil menyeka keringat kemudian
mengambil air minum. Diteguklah air yang berada dibotol hijau itu. Diliriknya ternyata air yang ia bawa tinggal
setengah botol.
“Wah harus irit biar
nanti tak kehabisan bekal, tapi kalau nanti habis di jalan Aku nyari dimana ya.
Semoga ada rumah penduduk di atas jadi bisa minta sedikit air,” cemas Ranu.
Perjalanan berlanjut,
sampai dipersimpangan jalan ia melihat ada kakek tua duduk termenung sendirian.
Dilewatinya kakek tua itu. Langkahnya terhenti, terbesit tanya kenapa kakek tua
itu diam dan hanya mengamati tongkatnya juga merunduk. Mungkin ia tersesat
fikirku. Ranu menghampiri kakek, yang kemudian tertangkap sedang menghentak-hentakkan
tongkat yang ia pegang dengan lirih.
“Kek, kenapa disini
sendiri, apa kakek tersesat,” tanya Ranu polos. Kakek perlahan mengangkat
wajahnya. Rambut putih panjang dan tergerai serta poni yang menutupi wajahnya
membuat bulu kuduk Ranu berdiri. Gemetar. Buru-buru ia hilangkan rasa takutnya.
“Ananda, siapa! Ada perlu apa sampai di
tanah ini?”gertak kakek berbaju putih.
Tersentak. Dengan
tergagap karena takut Ranu menjawab,”Sa..sa..saya Ranu kek. Saya dari desa
seberang yang berjarak empat bukit Bantangan dari sini.” Jelas Ranu, “saya
berpetualang untuk melihat secara dekat pohon emas yang ada di puncak gunung
ini.”lanjut Ranu, perlahan rasa takut itu surut.
Kakek mengangguk
mengerti kemudian ia berbicara lebih halus dari pada awal tadi,”Ananda harus
tahu jika ingin naik kesana harus ada persiapan terlebih dulu. Apa Ananda telah
mempersiapkannya? misal air minum apa sudah cukup, peralatan p3K jika terluka,
serta peralatan lainnya yang kiranya berguna dan berfungsi tepat. Hmm jika
ingin melakukan sesuatu sebaiknya kita rencanakan terlebih dulu, Ananda.” Kakek
memberi nasihat panjang lebar. Aku yang tadi masih berdiri ia persilakan duduk
bersisian dengannya.
“Nama kamu siapa,” tanya kakek
“Ranu kek”
“Nama yang bagus”
angguk Kakek sembari mengelus-ngelus jenggot putihnya. Tertegun aku dan
tersadar kemudian bertanya,“Kakek ini penduduk sinikah? Kenapa hanya sendirian
disini?”tanya Ranu selidik.
“Hmm rumahku di kaki gunung ini. Seperti
biasa kakek duduk ditempat ini menunggu cucu kakek yang beberapa hari ini belum
pulang. Siapa tahu kalau ia pulang lewat sini kakek bisa menyambutnya. “ jawab
kakek dengan raut wajah yang berubah, sedih. Kami berbincang santai
sampai-sampai lupa waktu. Lupa jika harus mendaki gunung ini. Padahal si
mentari sudah mulai pamit untuk pulang ke rumah, senja menyapa. Kakek memahami
kondisiku. Ia menawarkan tempat tinggal dan sedikit makanan karena tahu rasa
lelah telah menempel diwajah remaja itu.
Pagi harinya,
perjalanan dilanjut. Rasanya tak tega untuk meninggalkan kakek yang hanya
sendirian tinggal disini. Seseorang yang mandiri serta mempunyai cinta yang
besar terhadap cucunya, tapi sayang cucunya kurang bersahabat padahal beliau
telah membesarkannya dengan susah payah. Ia menceritakan kisahnya semalam yang
kutahui kisah ini tentang mimpi-mimpi Bian, nama cucunya. Mimpi yang telah ia
raih sampai-sampai menciptakan jarak dengan orang yang ia sayang. Jarak antara
kakek dan Bian.
Terenyuh dengan
kesabaran kakek karena tetap sayang meski Bian sampai sekarang belum pulang
menjenguk kakek atau sekadar kirim kabar lewat surat. Sungguh kesabaran itu mahal , ikhlaspun tak
sembarangan orang mampu melewatinya. Kakek doaku untukmu semoga dikuatkan dan
Bian segera tersadar ada orang yang mencintainya menunggu disini, di rumah,
yaitu kakek.
Impian tetap impian
harus ada tekad mencapainya. Hanya, jika impian itu tercapai jangan sampai lupa
seperti kacang tak ingat akan kulitnya. Diperjalanan mendadak Aku teringat Ibu,
Ayah, dan Adik di rumah. Sabar – sabar. Mereka tak membersamaiku mendaki karena
kondisi fisik yang tak memungkinkan, akan tetapi doa mereka selalu terlantunkan.
Kemudian kukeluarkan secarik kertas. Wajah Ayah, Ibu, maupun Adik Aku gambar. “Yah, selesai,” kemudian kulipat dan
dimasukkan ke saku. Sebagai pengingat diri jangan sampai lupa jika impianku
tercapai nanti. Ku bawa serta keluarga dihatiku. Menikmati keindahan Illahi,
pohon emas.
Puncak Gunung Golden ,
pohon emas tunggu aku! Pekikku dalam hati. Jatuh , terpeleset, dan luka.
Perjalanan memang tak selamanya mulus dan nyaman. Seperti yang kurasakan
sekarang. Sendirian melakukan pendakian. Kadang perihnya tangan terkena dahan
runcing ,aku mengaduh. Perih. Badan pegal sangat, peluh bercucuran hebat. Semua
rasa kutanam dibenak, kesakitan ini hanya sementara. Jika sudah di atas nikmat
pasti dirasa. Puncak tinggal beberapa langkah. Dilangkah kesepuluh, puncak
Gunung Golden.
“Aku
sampaiiii...,”teriak sekencang kumampu, “alhamdulillah,”sujud syukur pada-Nya. Membuncah
gemuruh dada. Rasa senang lega tiada kira. Lelah seakan sirna. Impian yang
selama ini aku inginkan tercapai yaitu memandang pohon emas sedekat ini.
Subhanallah pohon ini benar-benar ajaib. Mata memejam mencari rasa nyaman.
Segar. Pohon emas, daunnya bisa kuraih dan bisa meraba tiap lekuknya. Warna
pohon ini memang keemasan. Makanya orang-orang menyebutnya pohon emas. Pohonnya
rimbun, dahannya menggelayut menyentuh tanah. Aku duduk disela-sela akar yang
menonjol disana-sini berharap rasa lelah segera susut. Sembari minum dan
menikmati keindahan alam-Nya kulantunkan dzikir penenang hati.
“Subhanallah
walhamdulillah astagfirullah wallahu akbar ,” sembari membuka selembar kertas
yang ada di saku, wajah keluargaku. Tersenyum lega. Beberapa menit aku turun ,
pulang. Rasa bahagia menghinggapi badan. Alhamdulilah perjalanan lancar. Sampai
di rumah malam. Kukecup tangan ibu yang membukakan pintu. Ibu sudah menyiapkan
air hangat serta hidangan kesukaanku. Haru. Setelah mandi kami sekeluarga
bercengkrama tentang petualanganku. Rasa lelah terbayar lunas dengan melihat
senyuman dari Ayah, Ibu ,dan Adik. Yah petualangan kali ini memberikan hikmah
yang biasanya tak kudapati dipetualangan lainnya. Bermula dipertemukan seorang
kakek yang membuatku tersadar akan cinta keluarga yang begitu besar, tulus, dan
murni meski terkadang mata gelap dengan gemerlap duniawi. Lupa sewaktu sukses
diraih.
Sungguh begitu sabarnya
kakek itu membuatku mengingat sosok-sosok yang kucintai. Kutanamkan dalam hati,
meski aku pergi jauh menjemput impian namun tempat yang membuatku nyaman adalah
disini. Keluargaku. Sejauh aku melangkah keluargaku adalah tempat tuk berlabuh.
Aku cinta keluargaku. Keluarga adalah rumahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar