Senin, 07 April 2014

The Mistery of Diamond : Serial one “Sibakan misteri”



     Kepulan asap memenuhi ruang demi ruang. Jeritan manusia-manusia yang kebingungan mendesak-desak menyesaki tiap lorong ingin keluar. Atap satu persatu melesat tajam ke lantai bawah. Brug. Tetelan kecil kayu sebesar batu genggaman tangan manusia dewasa terjatuh satu-persatu. Lampu indah berbalut berlian yang terpasang di langit di gedung itu pun ikut bergoyang kanan-kiri. Ikatan yang membuat ia tangguh di atap perlahan  melucut. Orang-orang berhambur seperti semut menuju lantai bawah dengan mulut yang penuh pekikan ketakutan.
Barry yang berada di lantai dua hanya tercenung menatap lampu yang teramat indah itu mulai rapuh.
      “Barry, cepat turun. Gedung ini akan segera hancur. Cepat kemari!”teriak Jolie kakak perempuannya.
            Nafas Barry memburu. Sesak akibat asap yang mengepul pekat serta degupan jantung yang kian kencang membuatnya susah bernafas.
            “Barry!” pekik Jolie lagi.
            Tergopoh-gopoh Barry berlari. Jilatan-jilatan sang api perlahan merambati pegangan tangga. Barry ketakutan. Badannya bergetar melihat si jago merah menggerogoti tiap sudut ruang. Sewaktu Barry menghampiri kakaknya yang telah berada di ujung bibir pintu, sesuatu terjadi.
            “Tidak! Barry. Awas atasmu.”
            Bongkahan besar kayu yang rapuh menuju ke arahnya.Dia kemudian melompat dan berguling menghindar dari benda yang jika menimpanya jantung tak lagi berdetak.
      “Ah,”erang Barry kesakitan setelah melakukan aksi jurus ninja yang pernah ia tonton sebelumnya.
            “Kau tak apa-apa?”secepat kilat Jolie mendekap adiknya dan menuntunnya keluar.
            Dengan tertatih kaki-kaki anak-anak itu keluar.
            “Hahh..syukurlah kita selamat,”desis Barry setelah berada di luar gedung yang berwarna merah karena ditelan jago merah.
          Orang-orang tergugu, saling berpeluk, derai air mata menganak-pinak membentuk aliran sungai kecil-kecil di pipi mereka. Jeritan pilu ibu-ibu kehilangan suaminya yang terjebak. Jeritan kesakitan orang-orang tersengat jilatan api, gosong. Jeritan pembisnis yang telah kehilangan apapun yang mereka jadikan sebagai jalan mencari penghidupan. Semua hilang, lenyap, kala itu. Mereka saling berpeluk, berbagi keresahan yang sama, untuk lebih kuat.
Di tengah rasa syukur dan memandang gedung yang tertelan api, mata Jolie menangkap bayangan hitam yang berada di balik pohon 20 meter samping gedung itu. Ia merasa sosok itu mengintainya. Ketika tatapannya ia fokuskan, hilanglah bayangan misteri itu.
          “Ada apa?”tanya adik satu-satunya menyelidik, yang menangkap gelagat Jolie menatap sesuatu dari arah kanan.
      “Ah,.tidak apa-apa,”menggeleng kepada adiknya,”hmm aku rasa kita harus ke rumah Bibi Manda. Hanya dia satu-satunya keluarga kita yang dekat dari sini”
            “Iya, Kak. Kamu benar”
            Saling menggenggam erat sembari melihat gedung terbakar.
***
            Bibi Manda sangat baik mau memberi tempat kepada dua anak itu untuk tinggal di rumahnya. Ia adalah adik dari ayah Jolie dan Barry. Tempat tinggalnya sederhana tapi nyaman. Bibi Manda telah ditinggalkan oleh suaminya 5 tahun lalu akibat kecelakaan tunggal. Tak hanya itu, anak-anaknya pun ikut meninggal bersamaan dengan ayahnya yang sedang melaju ke pantai untuk berkemah. Namun ada halangan di jalan, rem yang ada dalam mobilnya blong sewaktu melewati tikungan ditebing yang curam dan terjerembab diantara runcingnya batu karang. 
“Kalian pasti lapar. Akan Bibi buatkan makanan. Semoga kalian suka,” ucap Bibi Manda sembari membersihkan brokoli yang akan dimasaknya.
“Trimakasih Bi, maaf kami malah merepotkan,” hatur Jolie yang menghampiri Bibi Manda, akan membantu.
“Ah jangan sungkan. Bibi sangat senang kalian kemari. Oh ya, apa ayah kalian sudah tahu jika kalian berada di sini dan mengalami kejadian tak menyenangkan?”
“Ayahh..umm..,” jawab Barry ragu yang sudah duduk di kursi makan.
“Mungkin ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya jadi kami tak enak hati jika mengganggu urusannya dengan masalah kecil,”timpal Jolie cepat untuk menutupi kebenaran jika ayahnya tak pernah memberi kabar maupun menanyakan kabar.
“Apa kamu bilang itu masalah kecil? Ah itu masalah rumit.. harusnya ia menghubungi kalian,”nada suara Bibi meninggi,”dasar ayah kalian itu tak tahu diri. Anaknya menjadi korban kebakaran kenapa ia bersikap seperti itu. Dasar orang tua tak tanggung jawab. Awas saja ia jika kemari akan aku potong kakinya biar tak pergi-pergi,”geram sembari berkacak pinggang dan memegang brokoli membuat ekspresi Bibi Manda lucu.
Mereka pun tergelak-tawa mendengar umpatan bibinya yang berbadan tambun itu.
“Hehehe sepertinya aku setuju dengan Bibi. Oh tapi jangan di potong kakinya Bi. Nanti kami makan apa jika ayah tak kerja,”ungkap Barry dengan wajah tak berdosa.
“Oh iya benar juga. Wah kamu memang pintar Barry,”mendekatinya dan mencium kening Barry.
“Bibi aku sudah besar, jangan cium aku seperti itu. Nanti apa kata orang. Tak ada anak gadis yang mau denganku.”
“Hehehhe,”mereka tertawa bersama.
Ruang dapur ini memang menghadap ke jalan. Jadi jika jendela di buka sudah bisa melihat sebelah seberang. Di tengah derai tawa, mata Jolie menyipit sewaktu memalingkan wajah ke seberang. Di balik jendela itu ada sosok yang sepertinya mengawasi mereka. Jolie hanya terdiam memandang sosok yang tak dikenal itu dan melanjutkan mencuci sayur bayamnya.
“Bibi, rumah siapa yang ada di seberang jalan ini?”
“Oh, itu rumah keluarga Claws. Ia seorang seniman,”mengernyitkan dahi,”kenapa sayang? Apa ada sesuatu?”
“Ah tidak, bukan apa-apa. Hanya saja aku tertarik dengan patung yang berjejer itu. Umm ya meskipunterlihat seram, hehhe, yah, hu um,”jawab gadis cantik itu meyakinkan bibinya. Dalam hatinya sebenarnya ia penasaran dengan sosok yang mengintip di balik jendela itu. Sosok itu tak jelas di tangkap matanya hanya saja gerak –geriknya yang mengundang tanya. Kenapa ia tak menampakkan wajahnya dan mengajak kenalan saja?membuat hati gadis berkepang itu kesal dan penasaran.
***
Di pagi hari Jolie dan Barry berjalan-jalan mengelilingi rumah dan sekitarnya. Udara pagi memang sejuk, begitu pula pemandangan yang ada. Di daerah pedesaan memang lebih menyenangkan dari pada di tengah kota yang membuat nafas sesak dan panas. Embun membentuk buram kacamata Jolie. Sesekali ia lepas dan diusapnya supaya terlihat lebih jelas. Sewaktu Jolie berhenti  dan mengusap kacamatanya ,tetap Barry berlari.
“Barry, jangan terlalu cepat. Tunggu aku. Aku masih mengelap kacamataku ini,”pekik Jolie yang berhenti untuk mengelap kacamatanya. Adiknya tetap melaju meski dimintanya untuk tak cepat-cepat.
“Iya, aku tunggu kau di depan sana.”
Rimbunnya pepohonan menarik perhatian Jolie untuk berhenti lebih lama. Kiri kanan hanya pohon yang menjulang tinggi. Di antara rimbunnya pohon terdapat semak-semak. Angin berdesir, rengketan dahan maupun cabang antar pohon menggeletuk menimbulkan bunyi-bunyi yang sempat membuat bulu kuduk berdiri. Dinginnya angin pagi membelai cuping hidungnya serta menelusuri tiap lengannya yang bergerak. Krek. Langkah Jolie terhenti ketika mendengar bunyi yang lumayan keras. Pandangannya ia alihkan ke arah sumber suara. Krek. Lagi . suara itu kian mendekat. Krek. Ia pendarkan pandangan ke arah semak yang berada di depannya. Krek. Posisi siap berlari ia pasang. Masih tetap berjaga-jaga dengan sigap jika mahluk itu menampakkan batang hidungnya. Kresek.semak-semak yang ada di depannya bergerak layaknya ada yang menyibak di dalam rungkutnya semak. Dari ujung dalam hutan ke luar menuju ke arahnya. Ia terperanjat. Takut jika binatang buas. Larilah gadis berkucir satu itu menghampiri Barry. Sekuat daya ia kerahkan untuk berlari. Tinggal beberapa langkah lagi berbelok dan menjumpai jalan yang lebih besar. Dengan tengah berlari sesekali ia menengok ke belakang. Untuk berjaga jika mahluk yang belum ia pastikan apa itu mengejarnya. Terlalu kencang. Ia tak tahu apa yang ada di depan tikungan.
Brug.
“Aow,”rintih bersamaan.
Seorang lelaki terjatuh di dekatnya. Wajah mereka berdekatan karena ia menimpai sosok itu. Matanya ngerjap-ngerjap menatap lelaki yang teramat tampan. Beberapa detik. Deheman Barry menyadarkan keterpesonaannya. Terkaget dan bergegas berdiri. Tak menyangka malah menabrak sosok ini.
“Apa kau baik-baik saja? Aku minta maaf tadi aku tidak sengaja. Tadi di sana ada sesuatu yang membuatku kaget jadi aku berlari. Karena aku..”merasa bersalah Jolie menjelaskan kepada sosok itu dengan cepat dan juga dibalut ketakutan,”oh..aku minta maaf aku menyesal,” jelas Jolie panik.
“Ya,.ya tenang-tenang. Aku tahu itu kecelakaan. Jadi jangan khawatir. Tidak apa-apa,”jawab lelaki itu bijak yang mengetahui nafas Jolie yang naik-turun.
“Wow baru kali ini aku melihatmu seperti peluru Kak,wussss dan menabrak, hehhe,”goda Barry.
Jolie menunduk malu.
“Oh ya kenalkan,aku Michel. Rumahku di seberang jalan itu.”
Oh jadi apakah ini sosok yang mengintip di balik jendela itu, batin Jolie.
“Ya aku Barry dan ini kakakku, Jolie. Kami baru pindah dua hari lalu di sini.”
“Hai Michel, maaf perkenalan hari ini sangat buruk. Aku malah menabrakmu. Maaf,” merasa bersalah.
“Hehehe. Tak apa. Ini adalah perkenalan yang unik. Aku akan mengingatnya seumur hidup.”
Tertawa bersama.
“Umm apakah kalian adalah korban kebakaran di gedung Voroza. Ah maaf aku terlalu lancang karena desas-desus dari tetangga membuatku jadi penasaran apakah itu benar?”ucap Michel sembari bersedekap ingin tahu.
“Mm iya benar. Kami memang salah satu korban kebakaran itu.”
“Iya, kami sangat ketakutan kala itu. Banyak teriakan pilu dan ada korban yang terjebak. Kami bersyukur bisa selamat.”
“Kebakaran yang mengerikan. Apa kalian tahu penyebab dari kebakaran itu?”tanya Michel.
Mengernyitkan dahi dan menggeleng,”Aku juga kurang tahu namun sepertinya ada kerusakan pada aliran listrik,”jelas Barry.
“Tapi..aku tak yakin jika hanya sekadar aliran listrik yang terputus,”kata Jolie lirih, yang tertangkap Michel. Dia menatap Jolie dengan tatapan tak bisa diungkapkan.
“Silakan ke rumahku sabtu malam. Ada pesta ulang tahun Bibiku. Aku harap kalian datang,”sembari tersenyum menatap Jolie dan Barry,”aku pergi dulu ya, bye.”

“Ok akan kami usahakan datang,”balas Jolie.
Menatap punggung lelaki itu begerak menjauh, Jolie berbisik pada Barry,”Apa kau tahu Barr?aku mencurigai orang itu.”
“Hei, belum kenal saja main curiga, memang ada apa kak? Ia kelihatannya baik. Ramah. Dan tak galak sewaktu kau tabrak.”
“Bukan itu Barry. Namun tempo hari sewaktu kita di dapur aku menangkap sosok di balik jendela dari rumah itu yang mengawasi kita.”
“Oh mungkin dia adalah fans mu,” goda Barry, “mungkin iya Kak. Makanya ia mengintipmu di balik jendela,”berusaha meyakinkan.
“Tapi Barr, ini bukan seperti itu..ahh biarlah. Akan aku selidiki jika kamu tak percaya,”ucap Jolie kesal kepada adiknya dan melanjutkan lari.
***
“Kau takkan bisa lari dariku. Kau takkan bisa lari dariku.”
Tersentak dan terbangun. Keringat mengaliri leher serta punggungnya. Mengalir deras membentuk aliran-aliran kecil, basah. Nafasnya terengah-engah. Ketiga kali ini bermimpi sama. Dikejar sosok berjubah hitam dan ia tergopoh –gopoh berlari menelusuri hutan agar tak tertangkap oleh sosok itu. Ia hempaskan dirinya ke ranjang pinknya. Menutup mata, dan membuka kembali. Pada waktu ia membuka mata telah ada sosok berwajah menyeramkan di depan wajahnya. Tak ada rupa, hanya bibir yang merah darah saja. Gadis itu berteriak kencang.
“Jolie,jolie, bangun, bangun,”seraya menyentak-nyentak bahu Jolie berharap matanya terbuka.
“Ah..ah..ah,”membuka mata dan terperanjat,”aku bermimpi itu lagi Barry,”memeluk adiknya dengan erat,”aku takut. Ia terus menerus mengejarku. Aku tak tahu apa yang ia mau dariku,”isak kakaknya yang ketakutan.
Barry hanya bisa mengelus menenangkan kakaknya. Kebetulan mereka satu kamar namun beda tempat tidur, jadi bisa saling mengawasi.
“Apa aku harus menceritakaan ini pada ayah atau bibi?”
“Tidak. Jangan. Aku tak ingin mereka khawatir dan inikan hanya mimpi”
“Namun Kak, ini mimpi sudah berkali-kali sama, mungkin adalah sebuah tanda”
“Ah tidak aku harap ini bukan tanda lagi”
“Dulu ketika ibu sebelum meninggal kau bermimpi yang sama kan? Apa kau masih ingat?apa mungkin ada sesuatu yang membuat itu akan terulang lagi?”
“Tidak..tidak..aku tidak ingin kehilangan lagi orang-orang yang kucintai. Tidak. Tidak akan”
“Iya. Aku sayang padamu Kak. Kita akan melewati ini bersama”
Barry melepas pelukan kakaknya. Ia menangkap kalung yang kakaknya kenakan mngeluarkan sinar.
“Kak”
“Hah”
Mereka saling berpandangan, melihat kalung yang melingkar di leher Jolie berpijar terang. Tak menyangka jendela yang tak tertutup memberikan informasi pada orang yang berada di rumah lantai dua seberang jalan. Ia menyeringai menatap mereka yang tengah terkejut menatap liontin itu.
***********************************************************************************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar