Kepulan asap memenuhi ruang demi ruang.
Jeritan manusia-manusia yang kebingungan mendesak-desak menyesaki tiap lorong
ingin keluar. Atap satu persatu melesat tajam ke lantai bawah. Brug. Tetelan
kecil kayu sebesar batu genggaman tangan manusia dewasa terjatuh satu-persatu.
Lampu indah berbalut berlian yang terpasang di langit di gedung itu pun ikut bergoyang
kanan-kiri. Ikatan yang membuat ia tangguh di atap perlahan melucut. Orang-orang berhambur seperti semut
menuju lantai bawah dengan mulut yang penuh pekikan ketakutan.
Barry yang berada di lantai dua hanya tercenung menatap lampu yang teramat indah itu mulai rapuh.
Barry yang berada di lantai dua hanya tercenung menatap lampu yang teramat indah itu mulai rapuh.
Nafas
Barry memburu. Sesak akibat asap yang mengepul pekat serta degupan jantung yang
kian kencang membuatnya susah bernafas.
“Barry!”
pekik Jolie lagi.
Tergopoh-gopoh
Barry berlari. Jilatan-jilatan sang api perlahan merambati pegangan tangga.
Barry ketakutan. Badannya bergetar melihat si jago merah menggerogoti tiap
sudut ruang. Sewaktu Barry menghampiri kakaknya yang telah berada di ujung
bibir pintu, sesuatu terjadi.
“Tidak!
Barry. Awas atasmu.”
Bongkahan
besar kayu yang rapuh menuju ke arahnya.Dia kemudian melompat dan berguling
menghindar dari benda yang jika menimpanya jantung tak lagi berdetak.
“Ah,”erang
Barry kesakitan setelah melakukan aksi jurus ninja yang pernah ia tonton
sebelumnya.
“Kau
tak apa-apa?”secepat kilat Jolie mendekap adiknya dan menuntunnya keluar.
Dengan
tertatih kaki-kaki anak-anak itu keluar.
“Hahh..syukurlah
kita selamat,”desis Barry setelah berada di luar gedung yang berwarna merah
karena ditelan jago merah.
Orang-orang
tergugu, saling berpeluk, derai air mata menganak-pinak membentuk aliran sungai
kecil-kecil di pipi mereka. Jeritan pilu ibu-ibu kehilangan suaminya yang
terjebak. Jeritan kesakitan orang-orang tersengat jilatan api, gosong. Jeritan
pembisnis yang telah kehilangan apapun yang mereka jadikan sebagai jalan mencari
penghidupan. Semua hilang, lenyap, kala itu. Mereka saling berpeluk, berbagi
keresahan yang sama, untuk lebih kuat.
Di tengah rasa syukur
dan memandang gedung yang tertelan api, mata Jolie menangkap bayangan hitam
yang berada di balik pohon 20 meter samping gedung itu. Ia merasa sosok itu
mengintainya. Ketika tatapannya ia fokuskan, hilanglah bayangan misteri itu.
“Ada
apa?”tanya adik satu-satunya menyelidik, yang menangkap gelagat Jolie menatap
sesuatu dari arah kanan.
“Ah,.tidak
apa-apa,”menggeleng kepada adiknya,”hmm aku rasa kita harus ke rumah Bibi
Manda. Hanya dia satu-satunya keluarga kita yang dekat dari sini”
“Iya,
Kak. Kamu benar”
Saling
menggenggam erat sembari melihat gedung terbakar.
***
Bibi
Manda sangat baik mau memberi tempat kepada dua anak itu untuk tinggal di
rumahnya. Ia adalah adik dari ayah Jolie dan Barry. Tempat tinggalnya sederhana
tapi nyaman. Bibi Manda telah ditinggalkan oleh suaminya 5 tahun lalu akibat
kecelakaan tunggal. Tak hanya itu, anak-anaknya pun ikut meninggal bersamaan
dengan ayahnya yang sedang melaju ke pantai untuk berkemah. Namun ada halangan
di jalan, rem yang ada dalam mobilnya blong sewaktu melewati tikungan ditebing
yang curam dan terjerembab diantara runcingnya batu karang.
“Kalian pasti lapar.
Akan Bibi buatkan makanan. Semoga kalian suka,” ucap Bibi Manda sembari
membersihkan brokoli yang akan dimasaknya.
“Trimakasih Bi, maaf
kami malah merepotkan,” hatur Jolie yang menghampiri Bibi Manda, akan membantu.
“Ah jangan sungkan.
Bibi sangat senang kalian kemari. Oh ya, apa ayah kalian sudah tahu jika kalian
berada di sini dan mengalami kejadian tak menyenangkan?”
“Ayahh..umm..,” jawab
Barry ragu yang sudah duduk di kursi makan.
“Mungkin ayah terlalu
sibuk dengan pekerjaannya jadi kami tak enak hati jika mengganggu urusannya
dengan masalah kecil,”timpal Jolie cepat untuk menutupi kebenaran jika ayahnya
tak pernah memberi kabar maupun menanyakan kabar.
“Apa kamu bilang itu
masalah kecil? Ah itu masalah rumit.. harusnya ia menghubungi kalian,”nada
suara Bibi meninggi,”dasar ayah kalian itu tak tahu diri. Anaknya menjadi
korban kebakaran kenapa ia bersikap seperti itu. Dasar orang tua tak tanggung
jawab. Awas saja ia jika kemari akan aku potong kakinya biar tak pergi-pergi,”geram
sembari berkacak pinggang dan memegang brokoli membuat ekspresi Bibi Manda lucu.
Mereka pun
tergelak-tawa mendengar umpatan bibinya yang berbadan tambun itu.
“Hehehe sepertinya aku
setuju dengan Bibi. Oh tapi jangan di potong kakinya Bi. Nanti kami makan apa
jika ayah tak kerja,”ungkap Barry dengan wajah tak berdosa.
“Oh iya benar juga. Wah
kamu memang pintar Barry,”mendekatinya dan mencium kening Barry.
“Bibi aku sudah besar,
jangan cium aku seperti itu. Nanti apa kata orang. Tak ada anak gadis yang mau
denganku.”
“Hehehhe,”mereka
tertawa bersama.
Ruang dapur ini memang
menghadap ke jalan. Jadi jika jendela di buka sudah bisa melihat sebelah
seberang. Di tengah derai tawa, mata Jolie menyipit sewaktu memalingkan wajah
ke seberang. Di balik jendela itu ada sosok yang sepertinya mengawasi mereka.
Jolie hanya terdiam memandang sosok yang tak dikenal itu dan melanjutkan
mencuci sayur bayamnya.
“Bibi, rumah siapa yang
ada di seberang jalan ini?”
“Oh, itu rumah keluarga
Claws. Ia seorang seniman,”mengernyitkan dahi,”kenapa sayang? Apa ada sesuatu?”
“Ah tidak, bukan
apa-apa. Hanya saja aku tertarik dengan patung yang berjejer itu. Umm ya
meskipunterlihat seram, hehhe, yah, hu um,”jawab gadis cantik itu meyakinkan
bibinya. Dalam hatinya sebenarnya ia penasaran dengan sosok yang mengintip di balik
jendela itu. Sosok itu tak jelas di tangkap matanya hanya saja gerak –geriknya
yang mengundang tanya. Kenapa ia tak menampakkan wajahnya dan mengajak kenalan
saja?membuat hati gadis berkepang itu kesal dan penasaran.
***
Di pagi hari Jolie dan
Barry berjalan-jalan mengelilingi rumah dan sekitarnya. Udara pagi memang
sejuk, begitu pula pemandangan yang ada. Di daerah pedesaan memang lebih
menyenangkan dari pada di tengah kota yang membuat nafas sesak dan panas. Embun
membentuk buram kacamata Jolie. Sesekali ia lepas dan diusapnya supaya terlihat
lebih jelas. Sewaktu Jolie berhenti dan
mengusap kacamatanya ,tetap Barry berlari.
“Barry, jangan terlalu
cepat. Tunggu aku. Aku masih mengelap kacamataku ini,”pekik Jolie yang berhenti
untuk mengelap kacamatanya. Adiknya tetap melaju meski dimintanya untuk tak
cepat-cepat.
“Iya, aku tunggu kau di
depan sana.”
Rimbunnya pepohonan
menarik perhatian Jolie untuk berhenti lebih lama. Kiri kanan hanya pohon yang
menjulang tinggi. Di antara rimbunnya pohon terdapat semak-semak. Angin berdesir,
rengketan dahan maupun cabang antar pohon menggeletuk menimbulkan bunyi-bunyi
yang sempat membuat bulu kuduk berdiri. Dinginnya angin pagi membelai cuping
hidungnya serta menelusuri tiap lengannya yang bergerak. Krek. Langkah Jolie
terhenti ketika mendengar bunyi yang lumayan keras. Pandangannya ia alihkan ke
arah sumber suara. Krek. Lagi . suara itu kian mendekat. Krek. Ia pendarkan
pandangan ke arah semak yang berada di depannya. Krek. Posisi siap berlari ia
pasang. Masih tetap berjaga-jaga dengan sigap jika mahluk itu menampakkan
batang hidungnya. Kresek.semak-semak yang ada di depannya bergerak layaknya ada
yang menyibak di dalam rungkutnya semak. Dari ujung dalam hutan ke luar menuju
ke arahnya. Ia terperanjat. Takut jika binatang buas. Larilah gadis berkucir
satu itu menghampiri Barry. Sekuat daya ia kerahkan untuk berlari. Tinggal
beberapa langkah lagi berbelok dan menjumpai jalan yang lebih besar. Dengan
tengah berlari sesekali ia menengok ke belakang. Untuk berjaga jika mahluk yang
belum ia pastikan apa itu mengejarnya. Terlalu kencang. Ia tak tahu apa yang
ada di depan tikungan.
Brug.
“Aow,”rintih bersamaan.
Seorang lelaki terjatuh
di dekatnya. Wajah mereka berdekatan karena ia menimpai sosok itu. Matanya
ngerjap-ngerjap menatap lelaki yang teramat tampan. Beberapa detik. Deheman
Barry menyadarkan keterpesonaannya. Terkaget dan bergegas berdiri. Tak
menyangka malah menabrak sosok ini.
“Apa kau baik-baik
saja? Aku minta maaf tadi aku tidak sengaja. Tadi di sana ada sesuatu yang
membuatku kaget jadi aku berlari. Karena aku..”merasa bersalah Jolie
menjelaskan kepada sosok itu dengan cepat dan juga dibalut ketakutan,”oh..aku
minta maaf aku menyesal,” jelas Jolie panik.
“Ya,.ya tenang-tenang.
Aku tahu itu kecelakaan. Jadi jangan khawatir. Tidak apa-apa,”jawab lelaki itu
bijak yang mengetahui nafas Jolie yang naik-turun.
“Wow baru kali ini aku
melihatmu seperti peluru Kak,wussss dan menabrak, hehhe,”goda Barry.
Jolie menunduk malu.
“Oh ya kenalkan,aku
Michel. Rumahku di seberang jalan itu.”
Oh jadi apakah ini
sosok yang mengintip di balik jendela itu, batin Jolie.
“Ya aku Barry dan ini kakakku,
Jolie. Kami baru pindah dua hari lalu di sini.”
“Hai Michel, maaf
perkenalan hari ini sangat buruk. Aku malah menabrakmu. Maaf,” merasa bersalah.
“Hehehe. Tak apa. Ini adalah
perkenalan yang unik. Aku akan mengingatnya seumur hidup.”
Tertawa bersama.
“Umm apakah kalian
adalah korban kebakaran di gedung Voroza. Ah maaf aku terlalu lancang karena
desas-desus dari tetangga membuatku jadi penasaran apakah itu benar?”ucap
Michel sembari bersedekap ingin tahu.
“Mm iya benar. Kami
memang salah satu korban kebakaran itu.”
“Iya, kami sangat
ketakutan kala itu. Banyak teriakan pilu dan ada korban yang terjebak. Kami
bersyukur bisa selamat.”
“Kebakaran yang
mengerikan. Apa kalian tahu penyebab dari kebakaran itu?”tanya Michel.
Mengernyitkan dahi dan
menggeleng,”Aku juga kurang tahu namun sepertinya ada kerusakan pada aliran
listrik,”jelas Barry.
“Tapi..aku tak yakin
jika hanya sekadar aliran listrik yang terputus,”kata Jolie lirih, yang
tertangkap Michel. Dia menatap Jolie dengan tatapan tak bisa diungkapkan.
“Silakan ke rumahku sabtu
malam. Ada pesta ulang tahun Bibiku. Aku harap kalian datang,”sembari tersenyum
menatap Jolie dan Barry,”aku pergi dulu ya, bye.”
“Ok akan kami usahakan datang,”balas Jolie.
Menatap punggung lelaki
itu begerak menjauh, Jolie berbisik pada Barry,”Apa kau tahu Barr?aku
mencurigai orang itu.”
“Hei, belum kenal saja
main curiga, memang ada apa kak? Ia kelihatannya baik. Ramah. Dan tak galak
sewaktu kau tabrak.”
“Bukan itu Barry. Namun
tempo hari sewaktu kita di dapur aku menangkap sosok di balik jendela dari
rumah itu yang mengawasi kita.”
“Oh mungkin dia adalah
fans mu,” goda Barry, “mungkin iya Kak. Makanya ia mengintipmu di balik
jendela,”berusaha meyakinkan.
“Tapi Barr, ini bukan
seperti itu..ahh biarlah. Akan aku selidiki jika kamu tak percaya,”ucap Jolie
kesal kepada adiknya dan melanjutkan lari.
***
“Kau takkan bisa lari
dariku. Kau takkan bisa lari dariku.”
Tersentak dan
terbangun. Keringat mengaliri leher serta punggungnya. Mengalir deras membentuk
aliran-aliran kecil, basah. Nafasnya terengah-engah. Ketiga kali ini bermimpi
sama. Dikejar sosok berjubah hitam dan ia tergopoh –gopoh berlari menelusuri
hutan agar tak tertangkap oleh sosok itu. Ia hempaskan dirinya ke ranjang
pinknya. Menutup mata, dan membuka kembali. Pada waktu ia membuka mata telah
ada sosok berwajah menyeramkan di depan wajahnya. Tak ada rupa, hanya bibir
yang merah darah saja. Gadis itu berteriak kencang.
“Jolie,jolie, bangun,
bangun,”seraya menyentak-nyentak bahu Jolie berharap matanya terbuka.
“Ah..ah..ah,”membuka
mata dan terperanjat,”aku bermimpi itu lagi Barry,”memeluk adiknya dengan
erat,”aku takut. Ia terus menerus mengejarku. Aku tak tahu apa yang ia mau
dariku,”isak kakaknya yang ketakutan.
Barry hanya bisa
mengelus menenangkan kakaknya. Kebetulan mereka satu kamar namun beda tempat
tidur, jadi bisa saling mengawasi.
“Apa aku harus
menceritakaan ini pada ayah atau bibi?”
“Tidak. Jangan. Aku tak
ingin mereka khawatir dan inikan hanya mimpi”
“Namun Kak, ini mimpi
sudah berkali-kali sama, mungkin adalah sebuah tanda”
“Ah tidak aku harap ini
bukan tanda lagi”
“Dulu ketika ibu
sebelum meninggal kau bermimpi yang sama kan? Apa kau masih ingat?apa mungkin
ada sesuatu yang membuat itu akan terulang lagi?”
“Tidak..tidak..aku
tidak ingin kehilangan lagi orang-orang yang kucintai. Tidak. Tidak akan”
“Iya. Aku sayang padamu
Kak. Kita akan melewati ini bersama”
Barry melepas pelukan
kakaknya. Ia menangkap kalung yang kakaknya kenakan mngeluarkan sinar.
“Kak”
“Hah”
Mereka saling
berpandangan, melihat kalung yang melingkar di leher Jolie berpijar terang. Tak
menyangka jendela yang tak tertutup memberikan informasi pada orang yang berada
di rumah lantai dua seberang jalan. Ia menyeringai menatap mereka yang tengah
terkejut menatap liontin itu.
***********************************************************************************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar